Bisnis.com, JAKARTA – Porsi belanja subsidi energi yang cukup tebal, untuk Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik, dan (LPG) 3 kg, menjadi alasan terjaganya inflasi selama Jokowi memimpin.
Tercatat dalam 10 tahun terakhir atau selama Jokowi memimpin, inflasi tahunan tertinggi terjadi pada 2022 atau masa peralihan pandemi Covid-19 ke endemi, yakni sebesar 5,51% (year-on-year/yoy).
Hal tersebut terjadi akibat Jokowi melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada September 2022. Diantaranya Pertalite naik sebesar 30,72% dan solar sebesar 32,04%, juga Pertamax sebesar 16%.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa dengan APBN yang menjadi shock absorber dan menanggung kenaikan harga energi secara global, maka inflasi tetap terjaga.
“Jadi kesuksesan Jokowi adalah soal inflasi karena harga bbm, tarif listrik dan LPG 3kg benar-benar dijaga,” tuturnya, Senin (12/8/2024).
Melihat inflasi harga yang diatur pemerintah (administered prices) pada 2023 hanya mencapai 1,72% sementara inflasi umum 2,61%.
Baca Juga
Lebih lanjut, Bhima melihat hal yang menjadi persoalan adalah beban belanja subsidi energi yang sangat berat, selama periode 2019–2024, subsidi energi bengkak dari Rp136,8 triliun pada tahun 2019 menjadi sebesar Rp189,1 triliun di 2024.
“Artinya, inflasi rendah sebenarnya semu karena administered prices ditanggung APBN,” lanjutnya.
Meski inflasi lebih rendah bila membandingkan dengan era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pernah mencapai 17%, nyatanya tidak berdampak banyak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Bhima justru melihat adanya tren pelemahan permintaan walaupun pemerintah menahan beragam kenaikan harga pangan maupun harga yang diatur pemerintah.
“[Pertumbuhan ekonomi stagnan] karena pelemahan sisi permintaan meski sudah ditahan berbagai kenaikan harga energi,” jelasnya.
Seperti bukti terakhir yang menunjukkan adanya pelemahan konsumsi masyarakat pada kuartal II/2024. Di mana ekonomi tumbuh lebih lambat dengan capaian 5,05% (year-on-year/yoy).
Hal tersebut sejalan dengan terjadinya deflasi secara bulanan (month-to-month/mtm) selama tiga bulan berturut-turut, yakni Mei, Juni, dan Juli yang masing-masing sebesar 0,03%, 0,08%, dan 0,18%.
Lebih lanjut, Bhima menyampaikan seandainya presiden terpilih Prabowo Subianto benar melakukan pemangkasan subsidi energi untuk membiayai makan bergizi gratis karena sempitnya ruang fiskal, inflasi pun otomatis akan terkerek naik.
“Sementara banyaknya utang jatuh tempo, rasio pajak yang rendah, dan program-program Prabowo kalau berjalan ya pastinya subsidi energi akan dipangkas. Begitu subsidi energi berkurang, inflasi langsung naik signifikan,” ungkapnya.
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan, total subsidi dan kompensasi energi sepanjang tiga tahun terakhir saja sudah tembus lebih dari Rp1.300 triliun.
Secara perinci, pada 2022 subsidi dan kompensasi energi boncos mencapai Rp551,2 triliun akibat kenaikan harga energi global. Kemudian pada 2023 senilai Rp475,66 triliun, dan pada 2024 direncanakan senilai Rp329,9 triliun.
Dengan rata-rata per tahun alokasi untuk subsidi dan kompensasi energi sekitar Rp400an triliun tersebut, setidaknya hampir setara dengan pembiayaan untuk makan bergizi gratis secara penuh.