Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal melihat dari tren deflasi selama tiga bulan berturut-turut mengindikasikan ke arah pelemahan permintaan alias daya beli masyarakat.
Bukan hanya ditunjukkan oleh capaian PMI Manufaktur Juli 2024 yang terkontraksi ke level 49,3, namun tingkat penjualan barang-barang ritel dan juga pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan tercatat tumbuh melambat.
Selain itu, Faisal juga menyoroti tingkat keyakinan konsumen juga menunjukkan adanya perlambatan dalam dua bulan terakhir.
“Jadi ini mengkonfirmasi apa yang sudah kami prediksikan di awal tahun bahwa di kuartal II/2024, setelah kuartal I/2024 ada pemilu dan lebaran, ini ada kecenderungan demand domestik mengalami penurunan,” ujarnya, Kamis (1/8/2024).
Mengacu data PMI Manufaktur yang untuk pertama kalinya di bawah 50 sejak Agustus 2021, penyebab utamanya berasal dari permintaan pasar yang menurun drastis sehingga penjualan merosot untuk pertama kali dalam satu tahun terakhir.
Sementara berdasarkan data Bank Indoensia, DPK per Juni 2024 terbukti tumbuh melambat sebesar 8,3% dari Mei 2024 yang tumbuh di angka 8,5%. Sementara tabungan perorangan naik dari Mei 2024 senilai Rp2.431,9 triliun menjadi Rp2.459,4 triliun pada Juni 2024.
Baca Juga
Di sisi lain, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tercatat mulai turun dari April yang sebesar 127,7 menjadi 125,2 pada Mei dan 123,3 Juni 2024.
Untuk itu, Faisal menekankan daya beli masyarakat perlu pemerintah dorong untuk semakin kuat dan dijaga dengan tidak mengeluarkan kebijakan fiskal maupun nonfiskal yang kontraproduktif.
Berbeda dengan Faisal, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan memang pada dasarnya indikator pelemahan daya beli kelas menengah dapat terlihat dari penurunan penjualan kendaraan bermotor, non-performing loan (NPL) KPR naik, dan tabungan perorangan yang tumbuhnya melambat.
Meski demikian, dirinya tak fokus kepada pelamahan daya beli, deflasi justru menjadi indikasi adanya tekanan bagi pelaku usaha untuk menahan kenaikan harga di level konsumen.
Pasalnya, pada saat bersamaan kinerja rupiah melemah dan berujung pada kenaikan imported inflation.
“Khawatir harga ritel naik, banyak konsumen yang tidak sanggup dan menurunkan omzet penjualan,” ungkapnya, Kamis (1/8/2024).
Bhima melanjutkan, kondisi ini menjadi kekhawatiran pelaku usaha karena apabila deflasi berlanjut, tidak sedikit pelaku usaha yang melakukan rasionalisasi kapasitas produksinya.
Sebelumnya, Plt. Kepala BPS Amalia A. Widyasanti menjelaskan perlu analisis lebih lanjut untuk menyimpulkan apakah deflasi menunjukkan lesu atau tidaknya daya beli masyarakat pada pertengahan tahun ini.
Deflasi pada Juli 2024 terjadi karena penurunan harga komoditas pangan mulai dari bawang merah hingga daging ayam ras akibat pasokan yang cukup di pasar.
“Karena penurunan harga yang direkam dalam angka deflasi bulanan belum tentu menandakan penurunan daya beli masyarakat. Kita harus tahu penyebab deflasi,” jelasnya dalam konferensi pers Rilis Berita Resmi Statistik, Kamis (1/8/2024).