Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) menyatakan kurangnya suplai bahan baku untuk diolah dan diekspor menjadi masalah utama di industri perikanan.
Akibat permasalahan ini kinerja ekspor produk perikanan Indonesia pada semester I/2024 kurang optimal.
Ketua Umum AP5I Budhi Wibowo menyampaikan, suplai bahan baku ikan ke industri pengolahan ikan cenderung stagnan dari waktu ke waktu.
“Bahkan akhir-akhir ini cenderung turun jumlahnya,” kata Budhi kepada Bisnis, Rabu (24/7/2024).
Oleh karena itu, Budhi meminta pemerintah untuk melakukan berbagai upaya yang dapat mendukung industri pengolahan ikan. Diantaranya, dengan merevisi berbagai peraturan yang memberatkan pengembangan industri perikanan.
Regulasi yang dimaksud yakni Peraturan Pemerintah (PP) No.85/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Baca Juga
Menurutnya, tarif PNBP dalam beleid itu harus segera diturunkan. Dengan begitu kapal-kapal yang berhenti beroperasi akibat tarif PNBP yang tinggi dapat kembali melaut dan suplai ikan dapat bertambah.
Pihaknya juga meminta pemerintah untuk merevisi PP No.36/2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam.
Dalam beleid itu, pemerintah mengharuskan eksportir untuk menyimpan devisa hasil ekspor di dalam negeri minimal 30% selama 3 bulan.
Budhi menyebut bahwa regulasi ini sangat memberatkan. Bagi industri perikanan di mana rata-rata profit marginnya di bawah 5%, dia mengatakan bahwa, kewajiban untuk menyimpan DHE sama saja dengan menghabiskan modal kerja.
“Kami minta produk olahan perikanan dikeluarkan dari PP tersebut,” ujarnya.
Selain itu, asosiasi juga meminta agar anggaran pemerintah difokuskan pada pengembangan infrastruktur perikanan, baik perikanan tangkap misalnya dengan memperbaiki pelabuhan perikanan, air bersih, dan lainnya, maupun perikanan budidaya misalnya perbaikan irigasi pada sentra-sentra budidaya udang tradisional.
Saat ini, Budhi mengungkapkan bahwa banyak muara-muara sungai yang tersumbat sehingga air laut sulit masuk ke tambak-tambak tradisional.
“Pemerintah perlu segera mengeruk muara-muara sungai yang tersumbat tersebut,” tegasnya.
Adapun nilai ekspor produk perikanan pada enam bulan pertama di 2024 mencapai US$2,71 miliar atau setara Rp44,24 triliun. Nilai tersebut naik tipis sebesar 1,0% (year-on-year/yoy) dibanding semester I/2023.
Amerika Serikat masih menjadi negara tujuan utama ekspor produk perikanan Indonesia dengan nilai ekspor mencapai US$889,39 juta. Namun, nilai ekspor tersebut turun sebesar 7,5% dibanding periode yang sama tahun lalu.
“Kalau lima negara [terbesar tujuan ekspor] tetap Amerika Serikat kita walaupun turun dibanding tahun lalu,” kata Hendra dalam konferensi pers kinerja KKP semester I/2024 di Kantor KKP, Rabu (24/7/2024).
Selain AS, China menjadi negara utama terbesar kedua tujuan ekspor mencapai US$556,04 juta, diikuti Asean US$353,93 juta, Jepang US$285,47 juta, dan Uni Eropa US$193,35 juta.
Menurut komoditasnya, udang masih menjadi komoditas utama ekspor produk perikanan di semester I/2024. Hendra menyebut, nilai ekspor Udang pada periode ini mencapai US$755,79 juta, diikuti Tuna-Cakalang-Tongkol US$456,64 juta, Cumi-Sotong-Gurita US$396,94 juta, Rajungan-Kepiting US$275,15 juta, dan Rumput Laut sebesar US$162,38 juta.
Sejauh ini, Hendra menyebut bahwa pemerintah berencana untuk melakukan pendekatan utamanya dengan sejumlah negara seperti Uni Eropa dan AS melalui diplomasi bilateral maupun diplomasi ekonomi untuk mendapat impor bea masuk yang lebih kecil.
Upaya ini dilakukan untuk menggenjot nilai ekspor produk perikanan Indonesia ke negara-negara tersebut.