Bisnis.com, JAKARTA - Dalam berbagai rilis hasil survei lembaga-lembaga internasional terkait pandangan para pengambil kebijakan dan pelaku bisnis global terhadap perekonomian saat ini dan ke depannya, mayoritas responden menjawab bahwa risiko geopolitik menduduki peringkat pertama.
Disusul kemudian kebijakan moneter ketat sebagai respons atas inflasi tinggi sebagai risiko tertinggi kedua. Risiko tertinggi ketiga adalah melemahnya perekonomian China, dan risiko tertinggi tertinggi adalah besarnya utang negara terhadap produk domestik bruto (PDB)-nya.
Sesungguhnya isu tentang meningkatnya risiko geopolitik sudah mencuat ketika perang Ukraina versus Rusia mengejutkan dunia pada Februari 2022 silam. Efek spiral dari perang ini memporakporandakan perekonomian global—setidaknya di kawasan Eropa—karena telah merusak jalur perdagangan internasional atau global supply chain yang berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa.
Di titik inilah inflasi global dengan cepat melejit tinggi karena pasokan barang, terutama komoditas energi, mengalami disrupsi—yang memaksa bank-bank sentral dunia harus meresponsnya dengan menaikkan suku bunga kebijakan secara agresif.
Tiga tahun berlalu, perang di Ukraina belum selesai, belakangan muncul ketegangan baru ketika terjadi pecah perang terbuka di Jalur Gaza antara militer Israel dan kelompok Hamas, yang melibatkan negara-negara pendukung masing-masing kubu.
Sebelumnya sudah muncul ketegangan baru di Laut Merah, melibatkan kelompok Houthi dengan militer Amerika Serikat (AS) dan Inggris di mana kelompok Houthi menghambat laju kapal-kapal tanker milik AS dan Inggris yang lewat Laut Merah.
Baca Juga
Untuk diketahui, pemberontak Houthi, yang memiliki persediaan rudal balistik dan drone serang buatan Iran dalam jumlah besar, mengeklaim menargetkan kapal-kapal milik Israel atau sekutu Barat negara tersebut.
Bagi kelompok Houthi, sebuah kelompok sekutu Iran yang berbasis di Yaman, serangan mereka terhadap kepentingan AS dan sekutunya adalah respons terhadap aksi pemboman Israel di Gaza, dan kegagalan komunitas internasional untuk mengakhirinya.
Akumulasi ketegangan geopolitik inilah yang menjadi penyebab meningkatnya risiko ekonomi global, dimulai dari gangguan pasokan, kelangkaan barang, kenaikan harga, lonjakan inflasi dan berujung pada kenaikan suku bunga acuan global yang menegasikan pertumbuhan ekonomi dunia.
Risiko geopolitik bukan hanya semata terkait dengan aksi perang antarnegara, melainkan juga risiko politik di sejumlah negara. Dengan adanya agenda pemilihan umum (pemilu) nasional baik untuk presiden maupun perdana menteri (PM) di lebih dari 70 negara tahun ini, maka setengah populasi dunia akan pergi ke tempat-tempat pemungutan suara.
Tahun 2024 menjadi tahun yang sangat penting bagi perdagangan global dan stabilitas (geo) politik, dengan peringatan indeks risiko sosial dan politik terkait lingkungan ekonomi berisiko tinggi dan labil di seluruh dunia. Semuanya berujung pada tiga isu besar ini, yaitu demam pemilu, meningkatnya populisme dan ketidakstabilan geopolitik.
Gelombang bersejarah ini akan melibatkan lebih dari 70 negara (termasuk tujuh negara terpadat di dunia), setengah dari populasi global dan sekitar 55% dari PDB global. Dari India ke Meksiko, melalui Austria, Tunisia, Indonesia dan El Salvador, pemilihan akan memberikan peluang bagi “kelompok populis” untuk menyapu kelima benua.
Tak ada keraguan bahwa 2024 akan menjadi tahun penuh gejolak untuk pemilu, diawali pemungutan suara di Taiwan pada Januari lalu, dan akan berakhir di AS pada 5 November ketika petahana Joe Biden (Partai Demokrat) akan melawan “pesaing lama”-nya, Donald Trump (Partai Republik).
Sebagai contoh, kemenangan Partai Progresif Demokratik (DPP) dalam pilpres di Taiwan memberi makna bahwa ketegangan dengan China akan terus fokus pada status pulau itu. Pengakuan negara-negara lain terhadap eksistensi Taiwan pun akan menaikkan tensi ketegangan negara-negara tersebut dengan Beijing.
Memang, di dunia yang sedang membentuk kembali tatanan geopolitik global, beberapa pemilu akan terbukti menentukan prospek ekonomi setiap negara dan berakumulasi pada prospek ekonomi dunia. Pemilu AS akan menjadi momen penting bagi lanskap dunia, mengingat posisi kunci dan strategis secara ekonomi dan politik negara dengan PDB terbesar di dunia ini.
Sorotan paling tajam menyeruak ketika sebuah jajak pendapat atau pooling di AS pada akhir Mei lalu menggadang-gadang Trump akan memenangkan pilpres di AS nanti, meskipun dengan selisih suara yang tipis. Hampir pasti arah kebijakan ekonomi AS akan berubah sesuai dengan “selera” Trump.
Relasi AS dengan China mungkin berubah drastis. Pun demikian dengan relasi AS dengan Rusia dan Korea Utara. Yang menjadi pertanyaan kritis: bagaimana wajah relasi AS sendiri dengan kelompok Barat.
Hasil akhir pemilu global menjadi sangat penting karena berlangsung dalam iklim internasional yang penuh badai yang ditandai dengan persaingan sengit Sino-Amerika, invasi Rusia ke Ukraina dan perang antara Israel dan Hamas dengan segala akumulasi eksesnya.
TIGA RISIKO
Potensi risiko terkait dengan pemilu di sejumlah negara bervariasi baik dalam sifat maupun tingkatannya sehingga dibutuhkan langkah persiapan yang matang dan seksama khususnya para pebisnis. Di beberapa negara, para pemilih hanya akan diberikan pilihan terbatas. Pada saat yang sama, pada fase pra dan pasca pemilu akan memberikan peluang munculnya tiga tren risiko.
Pertama, pergeseran politik dan ketidakpastian. Lingkungan sosial-ekonomi saat ini membawa aura ketidakpastian dengan volatilitas tinggi bagi pelaku bisnis selama periode pemilihan. Ketidakpastian politik semakin akut karena naiknya agenda populisme yang kian masif.
Salah satu contoh fenomena ini terjadi di Argentina, yang mengantarkan Javier Milei terpilih sebagai presiden baru-baru ini. Akibatnya, makin sulit untuk memprediksi ke arah mana kebijakan pemerintah akan diambil. Dengan kinerja ekonomi yang buruk, ditandai inflasi tinggi 276% dan suku bunga acuan 40% (Mei 2024) memaksa Argentina menjadi salah satu “pasien” IMF sejak Oktober 2023 lalu.
Di benua Eropa, kerentanan sosial dan politik berkembang cepat, dan pemilu nanti—terutama untuk Parlemen Eropa—akan berfungsi sebagai lahan subur bagi gerakan ekstremis anti-Eropa. Selain itu, beberapa anggota Uni Eropa akan mengadakan pemilihan nasional, yakni Austria, Kroasia, Finlandia, Lithuania, Portugal, Rumania, Belgia dan Slovakia.
Kedua, potensi kerusuhan sosial. Di sejumlah negara, terutama negara dunia ketiga atau negara sedang berkembang dan berpendapatan rendah, potensi eskalasi kerusuhan sosial dipicu oleh kenaikan harga, erosi kepercayaan pada politisi dan ketidakpuasan pemilih yang meluas.
Meningkatnya inflasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan keluhan terutama ketidakpercayaan terhadap institusi yang telah menggelegak di bawah permukaan sejak jauh sebelum krisis kesehatan Covid-19.
Sangat mungkin pada saat dan pascapemilu di beberapa negara akan menciptakan lingkungan untuk aksi-aksi unjuk rasa massa karena kekecewaan. Salah satu contohnya adalah ketika pemerintahan baru Argentina merilis kebijakan ekonomi terbaru justru mendapatkan protes keras dari warganegaranya.
Mewakili negara sedang berkembang dan negara berpendapatan rendah, setidaknya 17 negara di Afrika, menyelenggarakan pemilu pada 2024 ini dengan skor kerentanan sosial dan politik rata-rata tertinggi dan peningkatan terbesar dalam satu tahun terakhir. Dinamika ini sesuai dengan ketidakstabilan politik yang dialami oleh banyak negara Afrika selama beberapa tahun terakhir, mencakup kudeta dan konflik politik berlarut-larut.
Penundaan pemilu presiden baru-baru ini di Senegal adalah ilustrasi sempurna dari hal ini. Maka, penting juga untuk memantau proses pemilihan di negara-negara Asia tertentu, termasuk Sri Lanka, seperti halnya peristiwa baru-baru ini di Pakistan.
Ketiga, risiko geopolitik. Dengan adanya kebuntuan agenda gencatan senjata dan/atau perjanjian perdamaian terkait perang antara Rusia dan Ukraina, meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, dan perluasan keanggotaan BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Africa) untuk memasukkan lima anggota baru, jelas akan mempengaruhi konstelasi ekonomi-politik global dan kawasan yang mengarah pada fragmentasi global sebagaimana dikhawatirkan oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, dalam berbagai kesempatan.
Dengan latar belakang geopolitik yang bergejolak ini, putaran terakhir dari beberapa pemilihan ini akan menjadi sangat penting. Berlanjutnya kepemimpinan nasional Rusia di tangan Vladimir Putin (71 tahun) untuk kelima kalinya sebagai pilpres beberapa waktu lalu menegaskan bahwa posisi politik Putin tetap kuat.
Konon Putin—dilantik pada 7 Mei lalu—menjadi presiden dengan masa jabatan terlama kedua di Eropa setelah Aleksandr Lukashenko, Presiden Belarus. Putin telah menjadi Presiden Rusia sejak 7 Mei 2012. Keberlanjutan Putin sebagai pemimpin tertinggi Rusia tentu tidak akan mengubah garis besar arah kebijakan ekonomi, sosial dan pertahanan keamanannya.
Pemilu India juga sudah berlangsung dan berakhir pada 4 Juni lalu. Partai Bharatiya Janata (BJP) yang dipimpin Perdana Menteri India Narendra Modi unggul. India melakukan pemilu terbesar di dunia. Setidaknya sebanyak 968 juta orang memilih, sekitar 66,3%, meski angka itu turun dari 2019 sebanyak 67,4% warga.
Pidato kemenangan Modi menarik dicermati. Katanya, masa jabatan ketiga sebagai PM ini menjadi salah satu keputusan besar dan negara ini akan menulis babak baru pembangunan. Dengan kemenangan Modi ini, dapat dikatakan keberlanjutan kebijakan nasional India relatif tidak akan bergeser.
CATATAN PENUTUP
Bagi para pengambil kebijakan dan pebisnis di setiap negara, harapannya hanya satu, yakni hasil pemilu harus membawa kepada perubahan yang lebih baik di mana arah kebijakan ekonomi lebih pro rakyat dibentengi oleh kebijakan politik dan keamanan nasional yang meneduhkan.
Kestabilan sosial politik menjadi kartu truf bagi setiap negara untuk melanjutkan implementasi program-program pembangunan ekonomi yang membawa pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan stabil disertai dengan laju inflasi terkendali sehingga hasil pemilu dirasakan manfaatnya secara lebih baik oleh seluruh rakyat negara itu.