Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tekanan Beruntun Manufaktur, Ekonom: Waktunya Guyuran Insentif

Ekonom melihat perlunya pemerintah untuk menggelontorkan sejumlah insentif yang dapat mendongkrak kinerja industri manufaktur di tengah pelemahan rupiah.
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman.
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman.

Bisnis.com, JAKARTA - Sektor manufaktur mengalami tekanan depresiasi rupiah, suku bunga tinggi, hingga pelemahan pasar yang memicu melemahnya Purchasing Manager's Index (PMI) RI di level 50,7 pada Juni 2024, lebih rendah dari bulan sebelumnya di level 52,1.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan signifikan PMI manufaktur nasional disebabkan fluktuasi nilai tukar rupiah dan suku bunga acuan yang relatif tinggi sehingga menekan kinerja industri yang masih bergantung pada bahan baku dan barang modal impor. 

"Jadi untuk membeli bahan baku, barang modal, mereka kan juga menggunakan fasilitas pembiayaan dari lembaga keuangan, dari perbankan, dari finance maupun penerbitan surat utang valas," kata Bhima saat dihubungi Bisnis, Senin (1/7/2024). 

Bhima menilai pelaku usaha khawatir lantaran permintaan domestik dan ekspor yang masih lemah sehingga tidak sejalan dengan kemampuan untuk membayar pinjaman yang berasal dari valuta asing (valas). 

Di sisi lain, merosotnya PMI manufaktur dikarenakan faktor musiman pasca-Lebaran yang kapasitas produksinya cenderung turun. Bhima melihat potensi perbaikan kinerja akan terdongkrak kembali jelang Natal dan Tahun Baru mendatang. 

"Faktor lainnya ya, kondisi geopolitik dan pasar global, terutama di negara tujuan ekspor utama, seperti China, kemudian ke Eropa, itu pun juga berpengaruh juga terhadap penurunan PMI manufaktur karena permintaan globalnya masih dibilang lesu," ujarnya.

Dari sisi domestik, gencarnya barang impor yang masuk juga memicu penurunan daya saing produk industri lokal. Dia pun mencontohkan industri tekstil dan produk tekstil yang paling terdampak dari kondisi tersebut. 

Apabila kinerja manufaktur tak segera diperbaiki, bahkan hingga tren pelemahan PMI manufaktur berlanjut, maka efisiensi perusahaan indsutri akan terus berlangsung, fasilitas pembiayaan kredit usaha terhambat, dan pertumbuhan ekonomi yang melemah. 

"Tentunya akan berpengaruh juga pada pertumbuhan ekonomi karena kontribusi industri kan sekitar 18% dari produk domestik bruto dan memiliki dampak pada sektor pertanian, perkebunan, dan juga logistik," tuturnya. 

Untuk itu, menurut Bhima, penting untuk industri berorientasi ekspor membuka pasar-pasar penetrasi di sekitar negara Asean yang pertumbuhannya masih cukup bagus seperti Vietnam, kemudian Malaysia, Filipina. 

"Yang meredakan tekanan dari sisi beban biaya operasional mungkin bisa lewat diskon tarif listrik 40% untuk industri yang sifatnya padat karya," katanya.

Stimulus lain yang dapat mendorong pertumbuhan industri misalnya diskon pajak untuk tarif biaya masuk, keringanan untuk mengeringankan bahan baku, dan penurunan PPN menjadi 8-9% dari 11%. 

Pemerintah juga perlu menjaga harga energi khususnya solar non-subsidi dan juga BBM non-subsidinya tetap bisa stabil sampai akhir tahun. 

"Artinya, kompensasi dari APBN harus lebih banyak kepada Pertamina. Karena biaya bahan bakarnya juga berpengaruh kepada ongkos produksi," pungkasnya. 

Senada, Direktur Eksekutif Core Mohamad Faisal mengatakan, ongkos produksi industri pengolahan semakin mahal dikarenakan nilai tukar rupiah yang berdampak ke industri hulu hingga hilir. 

Adapun, beberapa industri yang memiliki ketergantungan besar dengan bahan impor yaitu seperti farmasi, elektronik, otomotif, bahkan tekstil dan produk tekstil (TPT) yang masih memerlukan bahan baku impor, makanan dan minuman, dan barang dari produk mainan. 

"Kalau biaya produksi meningkat karena depresiasi nilai tukar rupiah ini membuat jadi profitabilitas menurun karena cost meningkat, sementara dari penjualan mengalami tekanan, ini memengaruhi juga dalam hal peyerapan tengaa kerja sehingga tingkat ekspansi menurun," pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper