Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PMI Manufaktur Juni 2024 Turun, Apindo: Pengusaha Tetap Optimistis Ekspansi

Para pelaku usaha manufaktur masih melihat pergerakan nilai tukar rupiah untuk melakukan ekspansi ke depan.
ILUSTRASI kinerja manufaktur yang tengah melemah akibat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS/REUTERS
ILUSTRASI kinerja manufaktur yang tengah melemah akibat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS/REUTERS

Bisnis.com, JAKARTA- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkap optimisme pelaku usaha industri subsektor manufaktur masih tetap tumbuh meskipun kondisi usaha yang tercerminkan dalam Purchasing Manager's Index (PMI) Juni 2024 merosot ke level 50,7.

Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan ekspansi usaha manufaktur masih akan berlangsung, kendati realisasinya bergantung pada penilaian terhadap iklim usaha atau investasi di sektor masing-masing di Indonesia. 

"Hingga akhir tahun, pelaku usaha tetap optimistis terhadap ekspansi usaha, dalam arti pelaku usaha tetap ingin melakukan ekspansi," kata Shinta kepada Bisnis, Senin (1/7/2024). 

Menurut Shinta, optimisme pengusaha akan sejalan dengan kondisi nilai tukar rupiah teradap dolar Amerika Serikat (AS). Selama nilainya masih terus melemah, maka pelaku usaha dan calon investor akan memilih untuk menahan diri untuk ekspansi kinerja.

Sebab, fluktuasi nilai tukar rupiah akan menyebabkan inflasi beban biaya produksi dan biaya investasi yang semakin sulit diprediksi hingga menciptakan risiko usaha yang tinggi. Terlebih, Indonesia pun sedang dalam periode transisi kepemimpinan.

"Penurunan PMI yang tajam pada Juni kami sinyalir disebabkan oleh inflasi harga input produksi karena pelemahan rupiah yang tajam sepanjang bulan Juni sehingga sangat membebani produksi dan pertumbuhan demand pasar relatif lebih lemah daripada bulan sebelumnya sejak awal tahun ini," tuturnya.

Adapun, kondisi perlambatan pertumbuhan terjadi di seluruh subsektor manufaktur di Indonesia. Menurut Shinta, tidak ada industri manufaktur yang 'imun' atau kebal terhadap kondisi saat ini.

"Semua subsektor industri manufaktur mengalami peningkatan beban input produksi yang tinggi karena pelemahan rupiah," imbuhnya.

Bahkan, Shinta menerangkan peningkatan beban input produksi karena pelemahan mata uang ini terjadi hampir merata di Asean. Meskipun, inflasi beban produksi di Indonesia lebih tinggi dari negara Asean lain karena pelemahan mata uang yang lebih dalam.

Hal tersebut juga memicu pertumbuhan terbatas demand pasar di Indonesia pada Juni yang tergolong paling lemah karena sebagian inflasi tersebut sudah dibebankan ke pasar dalam bentuk kenaikan harga jual barang, meskipun kenaikannya tidak banyak atau marjinal.

"Yang jelas pemerintah harus bekerja keras menciptakan stabilitas nilai tukar dan pengendalian inflasi di dalam negeri, khususnya inflasi terhadap kebutuhan-kebutuhan pokok impor, termasuk BBM, yang dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat," tuturnya.

Dalam hal ini, Apindo juga berharap pemerintah fokus memberikan stimulus dari sisi supply berbentuk peningkatan efisiensi terhadap unsur biaya produksi, khususnya di sisi energi, financing, logistik, dan lainnya.

"Agar inflasi beban produksi di sisi supply lebih terkendali atau manageable dan tidak menekan realisasi ekspansi usaha terlalu dalam atau terlalu lama," pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper