Bisnis.com, JAKARTA - Kolaborasi Greenpeace dengan sejumlah organisasi nonprofit merilis panduan bebas deforestasi untuk mendukung petani kecil dalam mengakses pasar global.
Adapun, pedoman bebas deforestasi itu berisi langkah-langkah praktis bagi petani sawit, karet hingga kakao untuk memastikan produk yang dihasilkan bisa menembus pasar global sesuai dengan ketentuan bebas deforestasi. Misalnya, bagaimana komunitas petani dapat mengidentifikasi dan memetakan area tutupan hutan maupun lahan di wilayahnya.
Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabaruddin mengatakan, selama ini petani kecil juga kerap disalahkan atas terjadinya deforestasi hingga tersingkirikan dari akses pasar. Adanya panduan tersebut menjadi bukti bahwa petani bisa melakukan praktik bebas deforestasi sesuai permintaan pasar global.
"Kami berharap dengan pedoman ini para petani kecil anggota kami bisa mendapatkan akses yang lebih adil ke pasar," ujar Sabaruddin dalam keterangan resmi, Senin (24/6/2024).
Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik mengeklaim, panduan bebas deforestasi untuk petani kecil itu bakal memperkuat kelambagaan dan tata kelola sumber daya alam. Selain itu, para petani dapat meningkatkan manajemen perlindungan hutan hingga memberikan insentif bagi masyarakat yang mendukung aksi perlindungan tersebut.
Dia membeberkan, panduan bebas antideforestasi untuk petani kecil di Indonesia tersebut telah dikembangkan lebih dalam enam tahun atas kerja sama High Carbon Stock Approach (HCSA), SPKS, Yayasan Petani Pelindung Hutan (4F), Greenpeace, dan High Conservation Value Network (HCVN).
Baca Juga
Proses tersebut juga mencakup uji coba lapangan bersama petani kecil di Kalimantan Barat selama empat tahun, demi memastikan panduan ini sederhana dan mudah diadaptasi oleh komunitas lokal.
"Greenpeace berkolaborasi dalam proses ini agar petani kecil bisa membuktikan bahwa mereka bisa bebas-deforestasi, melindungi hutan, dan memenuhi sejumlah persyaratan, misalnya yang diatur dalam UU Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR," ucapnya.
Setali tiga uang, Direktur Eksekutif HCSA, Jesus Cordero menyebut bahwa EUDR dan peraturan internasional lainnya tidak bisa mengabaikan potensi kontribusi petani kecil dalam memenuhi rantai pasok produk bebas deforestasi. Panduan tersebut, kata dia, memungkinkan petani kecil memproduksi komoditas pertanian beriringan dengan pelestarian hutan dan menjaga hak komunitas mereka.
"Mereka dapat menjadi kunci yang menghubungkan rantai pasok dan pasar yang berkelanjutan ketika bermitra dengan produsen dan pembeli besar," jelasnya.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, Kamis (2/11/2023), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa pemerintah dari sejumlah negara yang terdampak aturan EUDR telah sepakat bekerja sama dengan Uni Eropa membangun kerangka kerja untuk pertanian yang lebih berkelanjutan.
"Termasuk produk minyak nabati dengan cara yang inklusif, holistik, adil dan tidak diskriminatif," kata Airlangga.
Airlangga pun menegaskan bahwa pengakuan Uni Eropa terhadap sertifikasi dan standarisasi praktik pertanian berkelanjutan versi negara produsen untuk sejumlah komoditas menjadi sangat penting.
Namun, di sisi lain sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan milik Indonesia yakni ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) hingga kini masih belum diakui oleh pihak Uni Eropa. Airlangga menambahkan, pengakuan sepenuhnya terhadap standar keberlanjutan nasional oleh pihak Uni Eropa dapat memudahkan para produsen mengakses pasar di Benua Biru tersebut.
Adapun, standar EUDR ditetapkan pada tujuh komoditas pertanian antara lain kelapa sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, sapi dan kayu. Rencananya ketentuan antideforestasi itu akan berlakukan oleh Uni Eropa terhadap produk impor mereka pada 2026.