Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pertamina Catat Penyesuaian Nilai Aset Migas Rp11,62 Triliun

PT Pertamina (Persero) mencatatkan penurunan nilai aset minyak dan gas mencapai US$707,08 juta atau sekitar Rp11,62 triliun pada 2023.
Gedung Pertamina./Istimewa
Gedung Pertamina./Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina (Persero) mencatatkan penurunan nilai aset minyak dan gas (migas) untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 2023 mencapai US$707,08 juta atau sekitar Rp11,62 triliun (asumsi kurs Rp16.435 per dolar AS). 

Pencatatan atas penurunan nilai aset itu naik signifikan dari posisi tahun 2022 di level US$169,73 juta atau sekitar Rp2,78 triliun. 

Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, penyebab umum penurunan nilai aset migas pada portofolio hulu itu lantaran adanya penurunan asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) sekaligus kenaikan asumsi weighted average cost of capital (WACC). 

“Koreksi penurunan nilai tersebut diakui sebagai biaya lain-lain yang mengurangi laba bersih perseroan sebesar US$528 juta [Rp8,67 triliun] setelah dikurangi impact pajak tangguhan,” kata Fadjar saat dikonfirmasi, Senin (24/6/2024). 

Untuk diketahui, suatu aset mengalami penurunan nilai jika jumlah tercatatnya (nilai buku) melebihi jumlah terpulihkannya (nilai keekonomian). 

Jika pada periode pelaporan selanjutnya, jumlah terpulihkan melebihi nilai buku, maka perseroan dalam hal ini Pertamina, mengakui pemulihan atas penurunan nilai sebelumnya. 

Fadjar menerangkan, dalam mengukur nilai wajar atau keekonomian bakal bergantung pada asumsi ICP, biaya usaha per barrel, reserves migas, periode kontrak, PSC terms, tingkat pertumbuhan dan tingkat diskonto. 

“Estimasi ini melibatkan asumsi dan pertimbangan yang bersifat jangka panjang sehingga terdapat risiko ketidakpastian,” tuturnya. 

Selain asumsi makro itu, Pertamina turut mengidentifikasi penurunan nilai aset migas itu disebabkan karena pembatalan proyek sumur eksplorasi PHE-N9 dan pembatalan pengembangan atas temuan sumur eksplorasi PHE-11D di PHE WMO. 

Selanjutnya, berhentinya produksi dari sumur produksi di PHE Randugunting serta penurunan cadangan pada PHE NSO atas hasil sertifikasi DeGolyer and MacNoughton turut mengoreksi nilai aset migas perseroan. 

Lalu, terhambatnya rencana pada PHE Nunukan ke triwulan IV 2027 turut memengaruhi penurunan nilai aset migas konsolidasian. Selain itu, terdapat penurunan cadangan pada PHE Simenggaris dan mundurnya proyek Kayan LNG. 

Pertamina turut melaporkan terjadinya penurunan produksi akibat laju penurunan alami dari lapangan-lapangan existing dan rencana penghentian operasi di Blok Kakap. 

Kemudian, adanya pengajuan divestasi (asset closing) pada Wilayah Kerja MNK Sumbagut dan terjadi kenaikan net book value (NBV) yang signifikan namun tidak menambah umur ekonomis wilayah kerja pada PHM dan PHKT. 

Adapun, Pertamina memiliki aset migas serta panas bumi konsolidasian dengan nilai tercatat sebesar US$19.200 juta yang menunjukkan 20,99% dari total aset konsolidasian. 

Kendati demikian, Pertamina mencatatkan laba total sebesar US$4,77 miliar atau sekitar Rp 72,7 triliun (asumsi kurs Rp 15.255 per dolar AS). Perolehan laba tersebut naik 17% dibanding laba 2022.

Kinerja positif keuangan Pertamina juga terlihat pada EBITDA atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi sebesar US$14,36 miliar. Angka ini naik 6% dibanding EBITDA pada 2022. Sementara, pendapatan konsolidasian tahun 2023 sebesar US$75,79 miliar.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan bahwa sejak restrukturisasi organisasi, tren kinerja keuangan konsolidasian Pertamina positif dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Di sisi lain, kinerja operasional di seluruh lini baik holding dan subholding juga semakin solid dan andal.

“Pertamina berhasil mengelola operasinya untuk mempertahankan pertumbuhan laba. Kinerja keuangan pada tahun 2023 meningkat dibandingkan tahun 2022 karena pengelolaan efisiensi, optimalisasi biaya, liabilitas, dan pembayaran kompensasi,” ungkap kata Nicke dikutip dari siaran pers, Rabu (12/6/2024). 

Menurut Nicke, restrukturisasi holding subholding tetap berhasil mengedepankan peran kolaborasi aktif melalui orkestrasi sejumlah inisiatif strategis di sektor finansial. 

Selain melakukan cost optimization, upaya penghematan biaya bunga, strategi transaksi lindung nilai valuta asing, suku bunga, dan komoditas, serta upaya memitigasi risiko valas dan kredit berhasil menghindarkan potensi kerugian serta menciptakan kontribusi sekitar US$1,1 miliar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper