Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan surplus neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2024 akan mencapai US$2,13 miliar.
Capaian surplus pada periode tersebut diperkirakan menyusut jika dibandingkan dengan capaian pada bulan sebelumnya yang sebesar US$3,56 miliar, terutama dikarenakan kembalinya aktivitas perdagangan setelah periode libur Idulfitri.
“Penurunan surplus ini terutama disebabkan oleh kembalinya aktivitas perdagangan setelah perayaan Idulfitri, dengan latar belakang ekonomi domestik yang relatif solid,” katanya kepada Bisnis, dikutip Senin (17/6/2024).
Josua memperkirakan, kinerja ekspor Indonesia pada Mei 2024 akan tumbuh sebesar 1,55% secara tahunan. Sementara secara bulanan, epsor pada Mei 2024 diperkirakan tumbuh lebih tinggi sebesar 12,38%.
Pertumbuhan ekspor secara bulanan yang lebuh tinggi diperkirakan seiring dengan normalisasi kegiatan ekonomi setelah liburan Idulfitri, juga terdorong kenaikan harga CPO secara bulanan pada Mei 2024, yang didorong oleh kenaikan harga barang substitusi seperti minyak kedelai, di tengah penurunan pasokan minyak nabati secara global.
Meskipun demikian, Josua mengatakan, peningkatan kinerja ekspor bulanan pada Mei 2024 dibatasi oleh data dari China yang mengindikasikan impornya dari Indonesia terkontraksi.
Baca Juga
Di sisi lain, dia memperkirakan kinerja impor Indonesia menurun secara tahunan, sebesar 6,40%, terutama karena high base effect dari periode yang sama pada tahun lalu.
Secara bulanan, impor diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan ekspor, yaitu sebesar 24,05%, terutama disebabkan oleh berakhirnya efek musiman Idulfitri dan pertumbuhan bulanan dua digit yang dilaporkan pada ekspor China ke Indonesia.
Lebih lanjut, Josua memproyeksikan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia akan berada pada kisaran yang terkendali pada 2024, dengan pelebaran moderat dari -0,14% dari PDB pada 2023 menjadi -0,94% dari PDB.
Tingkat defisit tersebut, imbuhnya, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan periode 2012 hingga 2019, dengan rata-rata sebesar -2,50% dari PDB.
Josua menjelaskan, prospek tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya normalisasi harga komoditas secara bertahap, permintaan domestik yang relatif kuat, dan potensi dampak peningkatan ketidakpastian global terhadap permintaan global.
"Faktor-faktor ini diperkirakan akan mempersempit surplus perdagangan dan dengan demikian mempengaruhi surplus barang dalam neraca transaksi berjalan," katanya.