Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah mengakuisisi pabrik beras di Kamboja dikhawatirkan bakal mengancam bisnis penggilingan padi rakyat di dalam negeri.
Ketua Komunitas Industri Beras Rakyat (Kibar), Syaiful Bahari memandang, rencana pemerintah mengambil alih bisnis pabrik beras di Kamboja tidak logis. Musababnya, dari sisi potensi lahan padi, Indonesia jauh lebih unggul dibandingkan Kamboja.
"Potensi lahan padi Indonesia yang belum dimanfaatkan di lahan kering ada 25 juta hektare. Akuisisi usaha beras di Kamboja itu pemikiran yang tidak mendasar dan tidak logis," ujar Syaiful saat dihubungi, Rabu (12/6/2024).
Dia pun blak-blakan soal dampak akuisisi tersebut terhadap nasib usaha penggilingan padi rakyat. Menurutnya, dengan mengambil alih produsen beras di Kamboja, maka industri beras rakyat akan makin tertekan dengan gempuran beras impor di tengah biaya produksi yang kian mahal.
Dampak itu akan semakin parah dirasakan oleh penggilingan padi rakyat yang hanya mampu menghasilkan beras kualitas medium atau lebih rendah.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata harga beras di tingkat grosir secara nasional pada Mei 2024 berada di level Rp13.471 per kilogram. Sementara itu, harga beras di Kamboja berdasarkan data Ministry of Trade pada Juni 2024 berada di level 2.420 KHR per kilogram atau sekitar Rp9.583 per kilogram.
Baca Juga
Adapun, menyitir data Food and Agriculture Organization (FAO), harga beras di Pakistan dengan butir patah 5% pada Mei 2024 berada di level Rp9.495 per kilogram, beras Vietnam dengan butir patah 5% sebesar Rp9.256 per kilogram dan, beras putih Thailand Rp10.462 per kilogram.
"Industri beras rakyat semakin sulit untuk beroperasi, dan tidak bisa bersaing secara efisien," ucapnya.
Syaiful pun menduga, rencana akuisisi produsen beras di Kamboja itu menjadi sinyal bahwa pemerintah sudah kehabisan akal dalam mengatasi krisis beras di dalam negeri. Padahal, kata Syaiful, krisis beras nasional dalam satu dekade ini merupakan dampak dari kebijakan tata kelola lahan pertanian dan produksi beras yang runyam.
Sebaliknya, negara-negara lainnya seperti Kamboja, Pakistan, India, Bangladesh, kata Syaiful, telah berhasil mentransformasi pertaniannya dalam kurun waktu 20 tahun terakhir hingga mampu menjadi negara eksportir beras.
"Jadi bukan kita tidak mampu memproduksi dan mencukupi beras nasional, tapi karena tidak ada political will dari pemerintahan Jokowi terhadap sektor pertanian," ucapnya.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, Rabu (12/6/2024), Direktur Utama Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi, menyatakan siap untuk mengakuisisi sejumlah perusahaan asing sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Pada dasarnya kami siap melaksanakan penugasan tersebut,” kata Bayu dalam keterangannya, Rabu (12/6/2024).
Bayu menuturkan, pihaknya telah berkomunikasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Phnom Penh, Kamboja serta beberapa pelaku usaha beras di negara tersebut dan negara lain di sekitarnya.
Sejauh ini, Bayu menyebut bahwa Bulog telah melakukan kerja sama perdagangan beras dengan Kamboja, baik melalui skema business to business (B to B) maupun government to government (G to G) di 2023 dan awal 2024.
“Kami juga telah melakukan pembicaraan awal dengan perbankan nasional terkait peluang investasi tersebut,” ujarnya.