Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan (FHPK) dapat menjadi beban baru bagi dunia usaha.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyampaikan, beban usaha yang dirasakan dari adanya kebijakan ini tidak hanya dari sisi finansial tapi juga nonfinansial.
“Karena [pengusaha] mesti cari orang, kan ada pekerjaan yang harus diisi, pekerjaannya harus jalan. Itu kan harus mencari pengganti dan lain-lain, jadi ada non finansial isu juga,” kata Shinta saat ditemui di Swissotel PIK Avenue, Kamis (6/6/2024).
Shinta, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya sebesar 60,18% atau jauh lebih kecil dari pada laki-laki yang mencapai 86,97% di 2023.
Jangan sampai, kata dia, regulasi ini membuat kesempatan perempuan untuk bekerja lebih menurun, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah antisipasi agar partisipasi perempuan mengalami peningkatan.
“Jangan sampai partisipasinya malah jadi menurun karena menambah beban,” ujarnya.
Baca Juga
Dia juga menyampaikan bahwa pelaku usaha membutuhkan penjelasan lebih lanjut mengenai indikator khusus yang tertuang dalam beleid itu agar tidak terjadi multitafsir dalam pelaksanaannya, di mana setiap Ibu berhak mendapat cuti selama 3 bulan pertama dan ditambah 3 bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Ini termasuk pengaturan mengenai dokter spesialis yang menjadi rujukan bagi ibu hamil atau melahirkan.
Diluar itu, Shinta menegaskan bahwa pengusaha sangat mendukung adanya UU KIA mengingat pentingnya kesejahteraan ibu dan anak selama 1.000 hari pertama. Hal ini juga sejalan dengan program Apindo untuk membantu pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting di Indonesia.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong adanya dialog sosial yang efektif antara pekerja dan pengusaha serta kebijakan mengenai cuti hamil atau melahirkan yang telah disepakati dalam perjanjian kerja bersama atau perjanjian kerja lainnya di perusahaan masing-masing agar tetap menjadi acuan bersama sepanjang belum diubah.
“Hal ini diperlukan agar ketentuan baru tersebut dapat mencapai tujuan terciptanya perlindungan pekerja perempuan dan keberlangsungan usaha,” jelas Shinta dalam keterangannya beberapa waktu lalu.
Pemerintah juga diminta berperan aktif dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dengan peningkatan ketersediaan dan kualitas pelayanan kesehatan primer, melalui fasilitas puskesmas dan peningkatan pelayanan pemerintah terhadap pelayanan poliklinik swasta, yang didukung dengan fasilitas pelayanan lanjut rumah sakit pemerintah maupun swasta.