Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Chatib Basri mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati terhadap munculnya isu soal ekspektasi kelas menengah seperti yang terjadi di negara Chili.
Chatib menyampaikan apabila kelas menengah diabaikan maka Indonesia akan bernasib sama seperti Chili. Menurutnya, kondisi perekonomian di negara Amerika Latin tersebut sangat baik, tetapi warganya tidak bahagia.
“Hebatnya ekonomi Chili, Chili adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi kalau engga nomor satu nomor dua setelah Uruguay, income per kapitanya tertinggi sekarang, kemudian Human Develpoment Index (HDI) mutu indeks pembangunan manusianya terbaik di latin Amerika,” ujar Chatib di siniar atau podcast Malaka Project, dikutip pada Selasa (4/6/2024).
Dia mengatakan tingkat kemiskinan di Chili mengalami penurunan mencapai sebesar 6% dari yang sebelumnya sebesar 53%. Saat ini, lanjutnya, tingkat kemiskinan negara tersebut bahkan lebih rendah dari Indonesia.
Meski demikian, Chatib menyebutkan kenaikan tarif transportasi menjadi salah satu penyebab unjuk rasa yang terjadi di Chili pada 2019.
Kondisi perekonomian Chili, baik tetapi warganya tidak bahagia sehingga disebut dengan The Chilean Paradox.
Baca Juga
“Yang terjadi 2019 [di Chili] was almost a revolution. Gara-gara kenaikan tarif transportasi yang hanya beberapa persen. Nah, gimana menjelaskan ini? Ya ini yang kemudian makanya saya bilang isunya jadi lebih complicated ini yang disebut sebagai The Chilean Paradox karena secara ekonominya baik, tapi kenapa [rakyatnya] enggak happy,” ucap Chatib.
Ekonom senior Universitas Indonesia itu menyampaikan kebijakan ekonomi di beberapa negara, salah satunya di Indonesia berfokus kepada 20% rakyat termiskin.
Di Indonesia, lanjutnya, bagi warganya yang termasuk kelompok miskin akan terlindungis dengan baik karena ada Bantuan Langsung Tunai (BLT), kartu miskin sehingga memenuhi syarat untuk mendaftar Bantuan Biaya Pendidikan bagi Mahasiswa Berprestasi dan Kurang Mampu(Bidikmisi), serta Program Keluarga Harapan (PKH).
“Jadi kalau kita miskin kita more or less, itu well protected karena ada BLT di sana. Ada kartu miskin sehingga kita bisa eligible untuk beasiswa bidikmisi, kita bisa punya akses PKH,” ujar Chatib.
Chatib menyebutkan pola kelompok pendapatan paling miskin hingga teratas itu seperti the elephant curve, yakni grafik Lakner-Milanovic atau kurva kejadian pertumbuhan global.
“Kalau kita lihat itu pola dari kelompok pendapatan yang paling miskin itu di atas kemudian kelas menengahnya turun gini, kemudian 20% teratas naik lagi, mirip seperti gajah itu yang disebut sebagai the elephant curve,” ujarnya.
Chili mengabaikan kelas menengah sehingga tidak ada kebijakan yang dikhususkan bagi kelas menengah.
Menurutnya, kelas menengah di Indonesia tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan BLT, tidak mendapatkan surat miskin sehingga mereka harus membayar iuran BPJS, dan bayar uang kuliah dari kantong pribadi.
"Padahal pendapatan kelas menengah tidak sama dengan kelompok 20% teratas," jelasnya.
Chatib menyebutkan pendapatan calon kelas menengah mencapai Rp3,5 jutaan sedangkan kelas menengah mencapai Rp6 juta.
“Dia gajinya kalau aspiring middle class itu di sekitar 3,5 jutaan sedikit di atas UMR, kalau yang termasuk di dalam kelas menengah itu mungkin gajinya sekitar 6 juta,” ujarnya.
Dia juga menyampaikan berdasarkan data World Bank, diperkirakan terdapat 120 juta orang di Indonesia yang termasuk calon kelas menengah atau yang disebut sebagai aspiring middle class alias middle class wanna be.
Chatib menilai keluhan dari kelas menengah merupakan cara yang bagus untuk menekan penyediaan barang publik yang dikeluarkan pemerintah.
“Saya selalu menyebut middle class itu adalah professional complainers atau certified complainers. Pengeluh bersertifikat apa yang terjadi mereka akan ngeluh di sosial media di macam-macam dan buat saya ini bagus ya karena pressure terhadap provision public goods itu akan terjadi nah ini adalah fenomena yang terjadi sekarang jadi buat government,” katanya. (Ahmadi Yahya)