Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Menteri Keuangan (2013-2013) Chatib Basri mengungkapkan saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia tengah tertahan di level 5% dan akan sulit naik menuju target Indonesia menjadi negara maju, yakni di rentang 6%-7%.
Chatib menuturkan hal ini akibat kondisi produktivitas investasi Indonesia atau incremental capital output ratio (ICOR) yang masih tinggi alias belum efisien. Selain itu, posisi defisit transaksi berjalan (current account defisit) yang terlampau besar dengan investasi.
Menurutnya, untuk ekonomi Indonesia dapat tumbuh 1%, membutuhkan investasi sebesar 6,8% dari produk domestik bruto (PDB). Artinya, bila Indonesia ingin mencapai pertumbuhan hingga 7%, membutuhkan investasi sekitar 47,6% dari PDB.
“Investasi ini musti dibiayai, datangnya dari tabungan domestik, masalahnya tabungan domestik kita hanya 37% dari PDB,” tuturnya dalam siniar Malaka Project, dikutip Rabu (5/6/2024).
Tidak heran bila ekonomi Indonesia tertahan di 5% dengan posisi tabungan domestik yang sebesar 37% tersebut.
Chatib menyoroti selisih antara tabungan dan investasi tersebut. Hal yang menjadi masalah, apabila selisih ini terlalu besar, membuat investor mengurungkan niatnya untuk masuk ke pasar Tanah Air karena khawatir saat mata uang anjlok, akan terjadi krisis.
Baca Juga
Pilihan pemerintah, katanya, harus mengerek tabungan domestik atau menurunkan namun dengan output yang sama.
“Berarti solusinya adalah produktivitas musti naik, supaya dengan effort yang kecil bisa menghasilkan output yang sama,” lanjutnya.
Lagi-lagi, isu sumber daya manusia (SDM), pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur menjadi poin utama untuk meningkatkan produktivitas Tanah Air. Terlebih, untuk mendapatkan efisiensi dari infrastruktur, pemerintah perlu menurunkan ICOR terlebih dahulu.
Isu korupsi pun harus semakin dihilangkan karena akan mendorong produktivitas lebih efisien.
“Kalau 6%-7% kita butuh investasi 48%, kalau kita bisa turunin ICOR jadi lima, dengan investasi-to-gdp 35%, kita bisa tumbuh 7%. Opsi lain adalah tabungan naik, maka mau gak mau tax-to-GDP ratio naik, kita [pemerintah] harus cari uang,” tuturnya.
Sementara adanya selisih dari tabungan, pemerintah perlu mencari cara menutupnya dengan aliran modal asing yang berupa foreign direct investment (FDI) alias penanaman modal asing (PMA).
Chatib menilai lebih efektif bagi Indonesia untuk menarik sebanyak-banyak FDI ketimbang mengandalkan modal asing dari portfolio atau surat utang. Pasalnya, portfolio lebih mudah ditarik ketimbang menutup pabrik yang berdiri dari FDI.
“Kalau masuknya lewat FDI, pabrik nggak bisa dibawa pulang, maka solusinya FDI harus banyak masuk ke sini. Framework sederhana 3 hal itu, siapa pun yang ada di pemerintahan dia nggak bisa keluar dari framework itu,” jelasnya.