Bisnis.com, JAKARTA - Badan Anggaran (Banggar) DPR memberikan sejumlah catatan untuk pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto ihwal kerangka ekonomi makro dan kebijakan fiskal.
Ketua Banggar DPR Said Abdullah menjelaskan, RAPBN 2025 akan disahkan oleh DPR dengan pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kendati demikian, pelaksanaannya akan dieksekusi oleh pemerintahan Prabowo.
"Oleh karena itu, kami ingin meng-address beberapa agenda strategis yang kiranya perlu dilanjutkan di era beliau [Prabowo], sehingga mempermudah pemerintahan beliau melakukan penyesuaian untuk pelaksanaan program-program strategis tersebut," ujar Said dalam keterangannya, Selasa (4/6/2023).
Pertama, Banggar DPR ingatkan soal gejolak eksternal yang semakin sulit diprediksi karena situasi geopolitik menjadi ancaman laten untuk perekonomian. Akibatnya, kurs rupiah makin terhempas.
Kedua, booming harga komoditas pada 2022 kian memperkaya lapisan ekonomi atas sehingga kesenjangan sosial kian menganga. Gini rasio telah menyentuh 0,388 pada semester 1 2024, lebih tinggi dibandingkan pada masa sebelum pandemi atau 2019 yang sebesar 0,380.
"Kue kemakmuran harus dinikmati bersama, kecenderungan naiknya kesenjangan sosial ini harus dikendalikan oleh pemerintah," jelas Said.
Baca Juga
Ketiga, agenda pembangunan juga belum mampu mengangkut seluruh rakyat keluar dari lembah kemiskinan ekstrim. Padahal pemerintah punya target penghapusan kemiskinan esktrim di tahun 2024 sehingga kini akan menjadi tugas pemerintahan Prabowo.
Keempat, persoalan stunting yang mana angka prevalensinya masih di 21,5% pada 2023. Padahal, pada 2024 ditarget menjadi 14% sehingga jika tidak tercapai maka pemerintahan Prabowo perlu lakukan upaya luar biasa yang meliputi pendekatan spasial untuk daerah fokus intervensinya.
Kelima, pusaran pertumbuhan ekonomi yang bersikap 5% sehingga pemerintahan Prabowo dikejar waktu untuk bisa naikan kasta Indonesia menjadi negara maju pada 2045. Momentumnya dengan memanfaatkan secara optimal bonus demografi yang akan berakhir pada 2036, namun dukungan anggaran pendidikan 20% dari belanja negara dirasa belum mampu mengubah rakyat menjadi tenaga kerja terampil, penuh inovasi, dan punya etos kerja tinggi.
Said mencontohkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hampir 10 juta penduduk berusia 15-24 tahun alias Gen Z menganggur, tidak sekolah, tidak bekerja atau tidak mengikuti pelatihan.
"Anggaran pendidikan 20 persen dari belanja negara harus mampu memberikan keterampilan anak anak muda kita ini menyongsong masa depan mereka," jelasnya.
Keenam, pembangunan infrastruktur dan hilirisasi belum mampu mengubah haluan ekonomi untuk menavigasi ekspor lebih bernilai tinggi. Said mengutip temuan LPEM UI, yang menunjuk hampir sepuluh tahun terakhir rata-rata nilai tambah manufaktur sekitar 39,12% hingga 2020, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada masa pemerintahan Megawati (43,94%) dan SBY (41,64%).
"Situasi ini menjadi tanda deindustrialisasi dini, oleh sebab itu pemerintah harus mewaspadai hal ini," katanya.
Ketujuh, Banggar DPR ingin insentif pajak atas kebijakan hilirisasi harus diimbangi dengan kewajiban untuk serapan tenaga kerja Indonesia, alih teknologi, dan memperluas cakupan industri manufaktur nasional sehingga pengelolaan sumber daya alam memberikan nilai tambah luas bagi kemakmuran rakyat.
Dalam hal ini, hilirisasi dinilai harus menjadi haluan baru kebijakan ekspor dan pengelolaan devisa sehingga bisa merasakan manfaat devisa atas hasil ekspor.
"Pimpinan Banggar DPR mendukung pemerintah lebih tegas dan berani mengubah tata kelola devisa untuk kepentingan nasional," jelas Said.
Kedelapan, agenda untuk memperkuat kemandirian pangan dan energi yang kita canangkan sejak Nawacita 1 juga belum maksimal. Oleh sebab itu, perlu dicarikan solusinya oleh pemerintahan Prabowo.
Banggar DPR, ujar Said, berharap delapan problem fundamental tersebut menjadi atensi sehingga dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Ekonomi Makro serta Pokok Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2025 yang akan dieksekusi oleh pemerintahan Prabowo.