Bisnis.com, JAKARTA - Ombudsman RI mengungkap biang kerok anjloknya ekspor crude palm oil (CPO) yang disebabkan direbutnya sejumlah pasar utama ekspor ke India hingga Eropa. Terlebih, tata kelola industri sawit di Indonesia yang masih tak beraturan.
Pimpinan/Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan kondisi ini bermula ketika RI memberlakukan larangan ekspor CPO pada Mei 2022 yang membuat iklim usaha internasional terganggu.
"Bayangkan buyer kita di India tidak dikirim barang padahal sudah kontrak. Mereka pasti nyari-nyari barang, nah dampaknya sampai sekarang, salah satu supplier yang siap itu Vietnam," kata Yeka di Kantor Ombudsman RI, Senin (27/5/2024).
Dia menilai kondisi Vietnam kala itu sama dengan Indonesia yang banyak menggunakan kawasan hutan untuk lahan perkebunan sawit. Namun, negara tersebut mengeluarkan kebijakan untuk mendukung industri.
Menurut Yeka, mestinya hal tersebut menjadi pembelajaran bagi pemerintah RI untuk membuat kebijakan yang mendukung industri sawit untuk menambah daya saing hingga mampu bersaing di pasar global
"Mereka cepat mengeluarkan lahan sawit tidak lagi di kawasan hutan dengan menggunakan satu kebijakan sehingga akhirnya traceability nya menjadi baik, RSPO nya dapat terpenuhi akhirnya mereka masuk ke India, Eropa," tuturnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki), Eddy Martono, mengatakan, pelemahan ekspor dipicu oleh melimpahnya pasokan minyak nabati lainnya hingga menekan harga CPO di pasar global.
Menurut Eddy, saat ini harga CPO cenderung tidak terjadi kenaikan dan bertahan di kisaran Rp12.000 per kilogram. Bahkan, pada Februari 2024, Eddy menyebut harga minyak kedelai jauh lebih murah dibandingkan minyak sawit di pasar global.
"Pelemahan ekspor ini karena minyak nabati lain seperti kedelai semakin murah [harganya] karena suplai yang bagus," ujar Eddy, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data BPS, ekspor CPO mengalami tren penurunan sejak tahun 2020 dengan volume 7,17 juta ton turun menjadi 2,48 juta ton pada 2021. Pada 2022 mulai meningkat ke angka 3,4 juta ton dan kembali turun menjadi 3,2 juta ton pada 2023.
Sementara itu, secara nilai ekspor CPO dan turunannya pada April 2024 sebesar US$1,39 miliar telah turun 10,49% dibandingkan nilai ekspor pada Maret 2024 sebesar US$1,56 miliar.