Bisnis.com, JAKARTA - Aturan pembatasan produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan semakin membuat ekosistem industri hasil tembakau (IHT) ketar-ketir. Tak hanya pelaku industri, tenaga kerja di sektor ini pun kian terancam.
Padahal, Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) mencatat anggotanya yang bekerja di industri ini mencapai 142.688 orang.
Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI, Sudarto, mengatakan kebijakan pembatasan produksi hasil tembakau tersebut berpotensi memengaruhi keberlangsungan penyerapan tenaga kerja hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Realita saat ini, lapangan kerja saja tidak sebanding dengan angkatan kerja. Selain itu, menurut saya belum ada pekerjaan yang dapat menggantikan dengan nilai kesejahteraan yang sama yang mereka dapatkan seperti saat ini," kata Sudarto, dikutip Rabu (22/5/2024).
Pemerintah tengah menggodok aturan turunan UU No. 17/2023 tentang Kesehatan berupa RPP Kesehatan terkait Pengamanan Zat Adiktif. Rencana penerbitan aturan ini menuai pertentangan dari banyak pihak.
Beberapa aturan yang disoroti yaitu terkait batasan TAR dan nikotin, potensi pelarangan bahan tambahan, pasal terkait jumlah stik dalam kemasan, larangan menjual rokok eceran, aturan mengenai jam malam penayangan iklan di televisi, serta pelarangan promosi di media sosial.
Baca Juga
Tak hanya itu, terdapat juga pasal terkait larangan penjualan pada jarak kurang 200 meter dari tempat pendidikan dan larangan pemajangan produk tembakau.
Dia menyebut berbagai aturan tembakau di RPP Kesehatan itu justru dapat memicu maraknya peredaran rokok ilegal yang tidak memiliki cukai, menggunakan cukai palsu, atau pelabelan cukai yang tidak sesuai peruntukannya.
"Pekerja di sektor IHT yang masuk ke dalam kategori padat karya mayoritas adalah wanita dengan pendidikab terbatas dan memiliki usia rata-rata 40 tahun," tuturnya.
Untuk itu, pihaknya meminta agar pemerintah melibatkan para pembangku kepentingan di IHT dalam setiap pembahasan regulasi yang akan dibuat agar lebih berimbang dan mampu meningkatkan kesejahteran masyarakat.
Di sisi lain, Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, mengatakan saat ini IHT legal terus mengalami keterpurukan lantaran di tekan dorongan regulasi yang eksesif. Untuk itu, pihaknya meminta agar aturan tembakau dipisah dari RPP Kesehatan.
Keterpurukan industri tercerminkan dari realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) di tahun 2023 yang tidak memenuhi target, yakni hanya mencapai Rp213,48 triliun atau 91,78% dari target APBN.
Henry melanjutkan bahwa pihaknya pesimis target CHT di tahun 2024, yang sebesar Rp230,4 triliun atau naik 5,08% dibandingkan target tahun sebelumnya, bisa terpenuhi. Hingga April 2024, penerimaan CHT tercatat masih minus sebesar 7,3% dibandingkan periode yang sama secara tahunan.
“Jika RPP tetap diputus dengan draf yang beredar saat ini, maka akan berpengaruh buruk bagi iklim usaha IHT. Banyaknya larangan terhadap IHT, seperti bahan tambahan atau pembatasan TAR dan nikotin, akan membuat anggota GAPPRI gulung tikar," jelasnya.