Bisnis.com, JAKARTA - Dampak dari fenomena Urban Heat Island alias semakin meningkatnya suhu kawasan pusat kota dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya semakin nyata bagi dunia.
Menurut data The United Nations Environment Programme (UNEP), fenomena Urban Heat Island terus meningkat seiring dengan terjadinya urbanisasi dan pertumbuhan kota, salah satunya pembangunan kawasan perumahan, di mana diperkirakan menghabiskan 40% dari konsumsi energi dan menyumbang sekitar 30% emisi gas rumah kaca.
Peneliti arsitektur sekaligus pendiri Sustainable Buildings, Cities and Communities (SBCC) dan BeCool Beta Paramita menjelaskan bahwa dunia tengah mencoba berbagai upaya untuk melawan fenomena Urban Heat Island, salah satunya dengan perumahan prefabrikasi dan modular.
Akademisi Prodi Arsitektur Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini menekankan bahwa pembangunan rumah modular merupakan kunci, salah satunya berkat teknologi material bangunan eksterior dengan tingkat pantulan surya yang tinggi, terutama untuk penutup atap.
"Di Indonesia, model rumah prefabrikasi atau modular sendiri telah berhasil diwujudkan berkat kolaborasi antara akademisi dari UPI, BeCool, dan Tatalogam Group. Ramah lingkungan berstruktur baja ringan, dan mengusung konsep ringan, cepat, kuat dan biaya rendah," jelasnya dalam keterangan resmi, Senin (13/5/2024).
SBCC pun baru-baru ini berkesempatan menggelar diskusi teknis dengan Pemerintah Negara Bagian Australia, berkaitan kebijakan terhadap penggunaan material konstruksi terutama atap yang memiliki reflektifitas surya yang tinggi khususnya untuk perumahan.
Baca Juga
Negara bagian yang didatangi adalah negara bagian Victoria dan New South Wales (NSW) beserta dua universitas ternama di kedua negara bagian tersebut yang terbiasa memberikan masukan teknis dari penyusunan dan pembaruan kebijakan-kebijakan, yaitu RMIT Melbourne dan University of New South Wales (UNSW).
Hadir dalam diskusi, Direktur Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Perumahan, Direktorat Jenderal Perumahan, Kementerian PUPR Edward Abdurrahman melihat bahwa sosialisasi bangunan dan rumah yang ramah lingkungan dengan indikator hemat energi dan rendah karbon merupakan kunci. Beberapa negara bagian di Australia, termasuk Victoria dan NSW, sudah sangat gencar melakukan sosialisasi.
Sementara itu, Pemerintah Federal Australia pun mendukung menerbitkan kebijakan mengenai Gedung Berkelanjutan yang kemudian diturunkan ke masing-masing negara bagian.
"Disesuaikan dengan keadaan dan kondisi fisik kota-kota didalamnya dan kesiapan masyarakatnya. Penyusunan kebijakan ini baik pusat maupun negara bagian dibantu oleh pemangku kepentingan kunci, yaitu asosiasi industri, jasa konstruksi, komunitas berkelanjutan, gedung hijau council, akademisi, dan praktisi," jelas Edward.
Performa gedung dan rumah di NSW dinilai berdasarkan perimeter-perimeter yang telah dibangun dan disepakati secara internasional, dengan rating bertajuk Green Star Credits. Persyaratan penggunaan material atap yang telah memiliki standar reflektifitas tertentu (solar reflectance index/SRI) diatur didalamnya beserta dengan tingkat kemiringan atap.
Adapun, di negara bagian Victoria masih berfokus kepada area hijau dan untuk rumah adalah yang rendah energi dan karbon. Terkait material atap ini, masih dalam usaha pemerintah negara bagian ini untuk mensosialisasikan kepada masyarakat dan sedang terus dikaji oleh universitas ternama seperti University of Melbourne dan RMIT Melbourne.
Sebagai perwakilan pelaku bisnis dalam SBCC, Head of Government and Public Relations Tatalogam Group Maharany Putri menjelaskan pihaknya berkomitmen mengembangkan material yang mampu menekan efek Urban Heat Island di Indonesia.
Saat ini, terdapat rumah DOMUS milik Tatalogam Group yang lalu dibalut oleh penutup atap dan penutup dinding berwarna terang dengan tingkat reflektif surya tinggi. Rumah ini kemudian diberi nama RAFLESIA atau Rumah Reflektif Tenaga Surya Indonesia.
Setelah menjalani tahap pengujian di laboratorium, bahan baku penutup atap dan penutup dinding ini memiliki daya pancar 0,90, reflektansi matahari hingga 72,1%, serapan matahari hingga 27,9%, dan SRI hingga ke 88.0.
"Hal ini merupakan bukti bahwa bahan bangunan ini sanggup mencegah dampak Urban Heat Island jika dipasangkan pada Rumah RAFLESIA. Rumah modular RAFLESIA ini juga lebih ramah lingkungan karena telah direncanakan secara matang sejak awal tahap desain hingga pelaksanaan konstruksi," jelasnya.
Semua kebutuhan material dan semua aksesori pendukung dibuat oleh mesin Tatalogam Group di pabrik berdasarkan perhitungan yang tepat sehingga pembangunannya lebih cepat, hemat biaya, dan yang paling penting, tidak meninggalkan limbah di lokasi konstruksi.
Dari hasil diskusi SBCC melalui elemen akademisi, bisnis, dan Kementerian PUPR selaku regulator, diharapkan terdapat sinergi dalam penyusunan rekomendasi standar untuk produk lembaran baja lapis warna atau cat dengan kriteria SRI optimal di Tanah Air.
"Hal ini akan membantu peningkatan utilisasi industri baja lapis nasional dan meningkatkan nilai TKDN dalam penggunaannya pada kegiatan konstruksi. Selanjutnya, diharapkan adanya penyusunan prototipe rumah reflektif surya berbasis kebijakan bangunan hijau dan cerdas yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia," tutup Maharany.
Harapannya, aturan itu dapat mendemonstrasikan wujud rumah modular yang ramah lingkungan, berkelanjutan, kuat, cepat bangun, ringan, ramah gempa, dan ekonomis. Yang sekaligus hal ini dapat membantu pemerintah dalam mengurangi Gas Rumah Kaca sebagai pendekatan adaptif.