Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) mengeklaim bakal memantau secara intensif program wajib tanam bawang putih di kalangan importir.
Setidaknya 100 improtir yang mengantongi rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) pada 2023-2024 telah mengikuti evaluasi dan asistensi program wajib tanam bawang putih dari Kementan.
Para importir diwajibkan tanam bawang putih minimal 5% dari volume impor yang diberikan. Ketentuan wajib tanam bawang putih diatur dalam Permentan No.46/2019 tentang Pengembangan Komoditas Hortikultura Strategis.
Dalam evaluasi dan asistensi importir bawang putih, Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengatakan, program wajib tanam diberlakukan agar Indonesia tidak selamanya menggantungkan pasokan bawang putih dari negara lain. Musababnya, ancaman ketersediaan pangan global juga dianggap nyata.
"Kita tidak boleh main-main atau setengah hati. Harus totalitas menjaga produksi pangan nasional. Negeri ini tidak boleh terlalu tergantung dengan produksi negara lain, termasuk bawang putih," ujar Amran dalam keterangan resmi, dikutip Senin (6/5/2024).
Sementara itu, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementan Andi Idil Fitri menyebut, kebutuhan rata-rata bawang putih secara nasional mencapai 600.000 - 650.000 ton per tahun. Dengan adanya program wajib tanam minimal 5%, dia memperkirakan ada 30.000 ton bawang putih yang bisa diproduksi dari dalam negeri dalam setahun.
Baca Juga
"Selebihnya bisa kita genjot [produksi] dari swadaya petani maupun stimulus APBN," tutur Adil.
Dia pun mengeklaim, Indonesia pernah mencapai swasembada bawang putih pada masa lampau. Namun, sejak 1996 hingga saat ini, kata dia, sebagian besar pasokan mengandalkan impor dari China.
Kendati masih impor terus, dia mengaku optimistis produksi bawang putih di dalam negeri bisa terus digenjot seiring potensi lahan dan petani yang masih tersedia.
"Strategi kita sudah ada. Benih harus kita persiapkan terlebih dulu, setelah itu masuk penetrasi konsumsi. Kuncinya adalah konsistensi program, anggaran, dan harga yang menguntungkan sehingga petani semangat untuk kembali menanam bawang putih," jelas Adil.
Adapun, Asisten Deputi Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Yuli Sri Wilanti menegaskan, pemerintah terus memperbaiki pelaksanaan wajib tanam bawang putih di kalangan importir. Dia pun mengusulkan implementasi sistem close-loop dalam program wajib tanam bawang putih dengan menghubungkan pasar kepada petani bawang putih.
Dalam evaluasi dan asistensi program wajib tanam itu, diketahui pihak KPK dan Inspektorat Jenderal Kementan meminta agar diterapkan mekanisme reward (pengharagaan) dan punishment (sanksi) bagi importir dalam melaksanakan program wajib tanam bawang putih.
Sebelumnya, Ombudsman menilai aturan wajib tanam telah gagal menciptakan swasembada bawang putih di Indonesia. Hal itu terlihat dari jumlah impor yang melebihi dari jumlah yang dibutuhkan. Dari data BPS yang diolah oleh Ombudsman sejak 2018 hingga 2022 terdapat gap yang besar antara realisasi impor dengan kebutuhan impor.
Misalnya, pada 2018, kekurangan suplai bawang putih (selisih konsumsi dengan produksi) sebanyak 416.718 ton. Namun, realisasi impor mencapai 586.030 ton. Artinya, ada gap antara realisasi impor dengan kebutuhan impor hingga 41%. Begitupun dengan gap pada 2019 sebesar 20%, 2020 sebesar 61%, 2021 sebesar 32%, dan 2022 sebesar 10%.
"Maka dari data BPS itu enggak bisa datanya disalahkan. Jadi sudah jelas wajib tanam itu gagal, ya kalau gagal evaluasi dong di mana letak kegagalannya," ujar Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika di Kantor Ombudsman, Selasa (16/1/2024)
Adapun, Ombudsman menduga sekitar 50% dari importir yang mendapat RIPH bawang putih mendirikan perusahaan cangkang. Yeka pun menyebut, modal yang lebih murah dianggap menjadi alasan para importir memilih mendirikan perusahaan baru dibandingkan melakukan wajib tanam. Yeka mengatakan, untuk mendirikan perusahaan baru, importir hanya membutuhkan biaya sekitar Rp13 juta. Sementara untuk melakukan wajib tanam bawang putih, importir perlu mengeluarkan biaya hingga Rp70 juta per hektare.