Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Pertanian Amran Sulaiman angkat bicara soal syarat wajib tanam impor bawang putih yang bermasalah.
Adapun Ombudsman mengatakan sekitar 50% perusahaan yang mendapatkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) bawang putih sengaja mendirikan perusahaan cangkang untuk menghindari syarat wajib tanam. Adapun wajib tanam sebenarnya menjadi syarat bagi importir untuk Surat Persetujuan Impor (SPI) dari pemerintah.
Amran mengakui bahwa syarat wajib tanam tersebut belum memberikan hasil yang optimal untuk swasembada bawang putih. Namun, menurutnya, syarat wajib tanam bawang putih menjadi niatan awal yang baik. Amran berujar, untuk mencapai swasembada bawang putih membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
"Pertanian itu tidak bisa instan. Aku tanya bagus enggak niat awal Kementan wajib tanam 5%? Saya niat awal swasembada jagung sudah, bawang merah sudah. Masa semua [komoditas] berhasil, emang kita Superman," ujar Amran saat ditemui di Kementerian Pertanian, Rabu (17/1/2024).
Mentan mengaku akan berkoordinasi dengan Ombudsman untuk menelusuri permasalahan wajib tanam dan memperbaiki efektivitasnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Hortikultura, Kementan, Prihasto Setyanto menyebut, untuk menghapus syarat wajib tanam impor bawang putih maka diperlukan revisi regulasi. Adapun ketentuan wajib tanam diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 39/2019 tentang RIPH.
Baca Juga
"Kalau dihapus, peraturannya harus dihapus dulu. Nah kita sudah mengevaluasi yang taat dan tidak taat," kata Prihasto.
Prihasto mengakui, dari sekitar 400-an perusahaan yang mengajukan RIPH bawang putih, sebanyak 50% tidak menjalankan wajib tanam. Dia mengklaim telah memblokir 50% perusahaan yang tidak taat tersebut dari daftar pemohon RIPH.
"Kalau di RIPH itu 50:50, 50% taat [wajib tanam] dan 50% tidak taat. Nah kalau yang taat yah dilanjutin," tutur Prihasto.
Sebelumnya, Ombudsman menilai aturan wajib tanam telah gagal menciptakan swasembada bawang putih di Indonesia. Hal itu terlihat dari jumlah impor yang melebihi dari jumlah yang dibutuhkan. Dari data BPS yang diolah oleh Ombudsman sejak 2018 hingga 2022 terdapat gap yang besar antara realisasi impor dengan kebutuhan impor.
Misalnya, pada 2018 kekurangan suplai bawang putih (selisih konsumsi dengan produksi) sebanyak 416.718 ton. Namun, realisasi impor mencapai 586.030 ton. Artinya ada gap antara realisasi impor dengan kebutuhan impor hingga 41%. Begitupun dengan gap pada 2019 sebesar 20%, 2020 sebesar 61%, 2021 sebesar 32%, dan 2022 sebesar 10%.
"Maka dari data BPS itu enggak bisa datanya disalahkan. Jadi sudah jelas wajib tanam itu gagal, ya kalau gagal evaluasi dong di mana letak kegagalannya," ujar Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika di Kantor Ombudsman, Selasa (16/1/2024).
Adapun Ombudsman menduga sekitar 50% dari importir yang mendapat RIPH bawang putih mendirikan perusahaan cangkang.
Yeka pun menyebut, modal yang lebih murah dianggap menjadi alasan para importir memilih mendirikan perusahaan baru dibandingkan melakukan wajib tanam. Yeka mengatakan, untuk mendirikan perusahaan baru, importir hanya membutuhkan biaya sekitar Rp13 juta. Sementara untuk melakukan wajib tanam bawang putih, importir perlu mengeluarkan biaya hingga Rp70 juta per hektare.