Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yang dipimpin Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menuju kesetimbangan bahkan mengarah ke defisit mulai terlihat.
Hingga 31 Maret 2024, surplus APBN semakin menyusut menjadi Rp8,1 triliun dari posisi 15 Maret 2024 yang senilai Rp22,8 triliun.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata menyampaikan memang pada dasarnya APBN 2024 dirancang defisit dengan angka 2,29% terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Kita tidak akan melihat surplus-surplus sehebat tahun lalu, tetapi kita akan terus mengelola terutama belanja kita, maka akan terjadi normalisasi,” ungkapnya dalam konferensi pers APBN Kita edisi April, Jumat (26/4/2024).
Di sisi lain, belanja pemerintah terpantau melesat sepanjang kuartal I/2024, yang tumbuh 23,1% dari periode yang sama tahun lalu atau secara year-on-year (yoy).
Hal tersebut karena adanya penyeluran yang cukup besar di awal tahun, seiring dengan terselenggaranya Pemilu pada Februari lalu.
Baca Juga
“Setelah pengeluaran besar di awal tahun, kita akan melihat normalisasi belanja kita, mudah-mudahan kita bisa me-manage surplus defisit ini walaupun memang kita sadari tidak setebal yang terjadi tahun lalu,” jelasnya.
Di sisi lain, belanja pemerintah yang besar tersebut juga didorong karena meningkatnya subsidi energi sebesar 13,8%, termasuk BBM.
Di mana sampai dengan Maret 2024, subsidi energi meningkat dari tahun periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp24,5 triliun menjadi Rp27,9 triliun.
Adapun, realisasi penyaluran BBM secara volume tercatat turun 2,7% (yoy) dari 2,89 juta kiloliter menjadi 2,81 juta KL. Sementara penyaluran LGP 3 Kg tumbuh 3,3% (yoy) dari 1,29 juta MT menjadi 1,33 juta MT.
Sementara itu, Indonesia Crude Price (ICP) per 12 April 2024 senilai US$89,51 per barel. Sedangkan asumsi makro harga ICP milik Kemenkeu di angka US$82/barel.
Untuk itu, Isa menyampaikan akan terus mengikuti perkembangan harga yang terjadi. Sementara terkait penyesuaian anggaran subsidi untuk BBM, menjadi hak Menteri Keuangan untuk melakukannya jika harga minyak global telah melambung jauh melebihi asumsi.
“Kita tidak melakukan ear marking tapi pendapatan migas kita juga akan ada peningkatan kalau kurs dan ICP itu meningkat. Ini bisa menjadi keleluasaan untuk melonggarkan anggaran untuk subsidi,” ungkapnya.