Bisnis.com, JAKARTA- Sederet polemik tata kelola impor terbaru melalui larangan dan pembatasan (Lartas) impor border terus menghantui pelaku usaha industri. Niat baik pemerintah menghentikkan banjir impor ilegal hingga mempercepat subtitusi impor justru jadi malapetaka keberlangsungan usaha.
Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36/2023 jo. Permendag No 3/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor itu telah berlaku per 10 Maret dan turunan petunjuk teknis bagi pelaku usaha industri telah diterbitkan melalui Peraturan Menteri Perindustrian.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyoroti prosedur perizinan hingga kuota impor bahan baku/penolong yang sulit didapatkan lantaran harus mengantongi rekomendasi kementerian/lembaga terkait.
"Masalahnya rekomendasi-rekomendasi ini sangat sulit diperoleh oleh perusahaan karena banyak prosedur yang berbelit dan lama prosesnya," kata Shinta, dikutip Rabu (17/3/2024).
Rumitnya rekomendasi impor digambarkan dari syarat dokumen yang wajib dikantongi pelaku usaha, mulai dari pertimbangan teknis (Pertek) yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian, verifikasi lembaga surveyor, hingga persetujuan impor (PI) Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Belum lagi dengan kebijakan Pertek yang harus diperoleh industri dari Kemenperin sebelum mengajuan perizinan ke Kemendag. Kendala nya, pengusaha diminta mengajukan perkiraan tahunan barang yang impor atau perjanjian sewa barang impor.
Baca Juga
Berikut daftar persoalan Kebijakan Lartas Impor yang dikeluhkan pengusaha:
1. Prosedur Izin Persetujuan Impor (PI) Dinilai Rumit
Dalam pasal 12A Permendag 3/2024 disisipkan prosedur baru untuk importasi yakni dengan mengantongi Persetujuan Impor dan/atau Laporan Surveyor (LS) sebagai dokumen pelengkap Pabean. Sebelumnya, hanya dengan PI saja pengusaha dapat melakukan importasi.
Menurut Shinta, untuk memperoleh rekomendasi impor tersebut membutuhkan waktu yang tak sebentar. Misalnya, lembaga surveyor yang harus mengumpulkan data supply dan demand nasional untuk mengatur kuota impor.
Data lapangan stok dan permintaan tak mudah didapat lantaran restriksi impor dalam aturan lartas mencakup 70% total Harmonized System (HS) barang yang diperdagangkan. Artinya, nyaris seluruh subsektor industri manufaktur terdampak dan berpotensi merugi.
Meskipun, di sisi lain, dia memahami upaya pemerintah untuk menjaga keseimbangan pasokan, lantaran rekomendasi impor baru akan diberikan ketika ada kekurangan barang dalam negeri.
"Ini sepintas logikanya baik dan benar, tetapi tidak diperhitungkan bahwa industri perlu mengimpor dengan spesifikasi tertentu dan tidak semua barang yang diproduksi dalam negeri bisa memenuhi spesifikasi tersebut," tuturnya.
Salah satu yang menentang yakni Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) yang menyebut mekanisme prosedur perizinan impor perlu direvisi. Sebab, industri alas kaki mulai kesulitan memproleh bahan baku impor, sementara utilisasi kapasitas produksi semakin terperosok di bawah 50%.
"Ketika ada demand dari produk lokal kita misal pesan sepatu untuk lebaran, di industri kami kesulitan bahan baku karena salah satunya itu proses perizinannya," ujar Direktur Eksekutif Aprisindo, Firman Bakrie.
2. Lembaga Surveyor Minim
Pada pasal 24 disebutkan bahwa verifikasi dan penelusuran teknis kebutuhan impor dilakukan oleh surveyor yang telah ditetapkan oleh Menteri. Pengajuan permohonan verifikasi dilakukan secara elektronik oleh importir melalui sistem yang dimiliki surveyor.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo) Handaka Santosa mengatakan kebijakan LS bagi importir memberatkan. Tak hanya produsen manufaktur, pihak ritel juga menilai hal tersebut dapat mengganggu kinerja penjualan ritel.
"Kalau ini sampai terganggu, ini akan menjadikan satu kesulitan untuk pondasi melangkah ke depannya, jadi kalau memang masih bingung menunjuk konsultan untuk verifikasi laporan, baru ada dua, Surveyor Indonesia dan Sucofindo, lebih baik ditunda dulu, yang rugi bukan image-nya pemerintah, tetapi income-nya pemerintah, pendapatannya akan turun," terangnya.
3. Sistem Pertimbangan Teknis (Pertek) Kemenperin Belum Siap
Di sisi lain, Kementerian Perindustrian bertanggung jawab mengeluarkan Pertimbangan Teknis (Pertek) melalui Permenperin untuk sejumlah industri seperti besi dan baja, kosmetik hingga obat tradisional, tekstil dan alas kaki, elektronik, serta komoditas industri kimia hulu.
Misalnya, Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 6/2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik. Pada pasal 16 ayat 1 bahwa pengajuan pertek disetujui dalam waktu 5 hari kerja.
Namun, menurut Ketua Dewan Pembina Perprindo, Darmadi Durianto mengatakan masih banyak pengajuan pertek yang sudah lebih dari 5 hari kerja bahkan sampai bulanan tanpa ada kejelasan status persetujuan pertek.
Dia pun menunjukkan ketidaksiapan sistem lantaran aturan tersebut belaku pada Februari 2024 namun Kemenperin baru mengundang produsen elektronik terkait penyusunan usulan kebijakan importasi pada 22 Maret 2024
"Berarti sudah 1 bulan lebih Peraturan diberlakukan sehingga Perprindo beranggapan bahwa implementasi Permenperin ini masih banyak harus diperbaiki agar pelaku usaha memperoleh kepastiaan hukum," ujarnya.
4. Syarat Memperoleh Pertek Kemenperin
Dalam Permenperin No. 1/2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya, tepatnya pada pasal 6 disebutkan sederet syarat untuk memperoleh Pertek.
Secara umum, permohonan penerbitan Pertimbangan Teknis oleh pelaku usaha di atas dapat diberikan apabila menyertai sejumlah data mengenai rencana produksi, rencana impor, realisasi impor tahun sebelumnya, rencana penyerapan bahan baku/penolong, realisasi penyerapan dan beberapa dokumen izin usaha lainnya.
Adapun, rencana impor dan realisasi impor tahun sebelumnya yang dimaksud yaitu pos tarif/harmonized system (HS), uraian barang, standar mutu dan/spesifikasi teknis barang, volume satuan, negara muat barang, pelabuhan tujuan, dan waktu pemasukan.
Persyaratan tersebut lebih rumit dibandingkan aturan sebelumnya. Bahkan, sumber laporan Bloomberg mengaku, proses untuk mendapatkan pertek sangatlah rumit.
Sebab ketentuan dari Kementerian Perindustrian itu, mengharuskan perusahaan untuk menyerahkan perjanjian sewa dan perkiraan tahunan barang yang ingin mereka bawa ke Indonesia.