Bisnis.com, JAKARTA -- Asosiasi Produsen Terigu Indonesia (Aptindo) meminta kemudahan pengadaan premiks fortifikan yang merupakan bahan pengayaan zat gizi pada produk pangan, dalam hal ini terigu yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Aturan tata kelola impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36/2023 disebut menghambat kebutuhan Premiks Fortifikan lantaran harus dengan Persetujuan Impor (PI) dan LS (Laporan Surveyor).
Ketua Umum Aptindo Franciscus Welirang, mengatakan ketersediaan Premiks Fortifikan dari setiap anggota industri terigu nasional ketersediaanya hanya cukup untuk April-Juni 2024.
"Jika belum ada solusi pengadaan Premiks Fortifikan sampai dengan April ini, hampir bisa dipastikan pasokan tepung terigu nasional akan berkurang lebih dari 50%," kata Franciscus dalam siaran pers, Selasa (16/04/2024).
Dia juga menilai aturan tersebut berpotensi berdampak kepada kelangkaan tepung terigu, bahkan kenaikan harga tepung terigu di pasar.
Padahal, menurut dia, penggunaan premiks fortifikan diberlakukan sesuai dengan aturan Peraturan Menteri Perindustrian No 1/2021 tentang Pemberlakuan SNI Tepung Terigu sebagai bahan Makanan Secara Wajib.
Baca Juga
Sejak diberlakukannya aturan SNI wajib tepung terigu, seluruh industri terigu nasional senantiasa taat melakukan fortifikasi tepung terigu yaitu berupa penambahan zat gizi mikro seperti zat besi (Fe), zink (Zn), asam folat, vitamin B1 dan vitamin B2.
Adapun, kandungan seluruh fortifikasi tepung terigu tersebut terdapat dalam Premiks Fortifikan yang selama ini diperoleh para pelaku industri tepung terigu di Indonesia melalui distributor (trader) di dalam negeri.
Pihaknya pun berterima kasih kebijakan SNI telah mendukung industri terigu nasional hingga investasi di bidang industri terigu nasional dan industri makanan berbahan baku terigu tetap tumbuh setiap tahunnya.
"Bahkan ada jutaan UKM yang bergerak di usaha makanan berbasis tepung terigu. Tapi dengan aturan yang baru terkait impor Premiks Fortifikan ini, sungguh akan mengganggu rantai pasok tepung terigu secara nasional bahkan sektor usaha para UKM," ujarnya.
Data Aptindo menyebutkan, pproduksi industri terigu nasional tahun 2023 sekitar 6,8 juta metrik ton tepung terigu atau setara dengan 8,7 juta metrik ton gandum.
Jumlah tersebut sama dengan kebutuhan tepung terigu di kisaran 550.000 - 600.000 metrik ton per bulannya untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan. Sementara kebutuhan akan Premiks Fortifikan (HS 2106.90.73) sekitar 1.500–1.800 metrik ton per tahun.
Franciscus menyebut pihaknya telah mengirimkan surat kepada Pemerintah pada Maret lalu terkait kendala tersebut, tepatnya ditujukan kepada Menko Bidang Perekonomian dan Menteri Perdagangan.
“Tapi sampai sekarang, sudah hampir 2 bulan, belum ada balasan. Kami para pelaku industri terigu nasional belum pernah mendapat arahan yang jelas dan pasti, kenapa harus berubah aturan impor pengadaan Premiks Fortifikan ini," tuturnya.
Namun, belum ada jawaban pasti dari pemerintah. Padahal, hal ini pasti akan semakin sulit karena prosedur administrasi makin panjang dan butuh waktu lama bisa sampai berbulan-bulan.
"Kami tidak mungkin memasarkan tepung terigu ke masyarakat tanpa adanya Premiks Fortifikasi. Karena itu adalah aturan wajib pemenuhan hak-hak konsumen yang tidak boleh kami langgar. Kami industri tepung terigu nasional yang taat konstitusi,” tegasnya.
Dia berharap Pemerintah segera meninjau ulang aturan Permendag 36/2023 tentang pengadaan Premiks Fortifikan. Pemerintah harus dan perlu segera membuatkan aturan baru atau pengecualian khusus terkait impor Premiks Fortifikan untuk tepung terigu, karena stok sudah sangat menipis.
"Jangan sampai Pemerintah melanggar sendiri aturan yang dibuatnya, yakni Aturan Wajib Fortifikasi SNI.Jangan juga menghambat penyelesaian masalah yang menjadi perhatian Pemerintah saat ini yakni masalah stunting dan atau pemenuhan kebutuhan gizi,” pungkasnya.