Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Arah Suku Bunga Global Tak Pasti, Benarkah Bikin Rupiah Anjlok hingga Modal Asing Kabur?

Swiss National Bank (SNB) menjadi bank sentral utama dunia yang pertama kali melakukan pemangkasan suku bunga acuan pada tahun ini.
Kantor pusat Swiss National Bank (SNB) di Bern, Swiss, pada hari Rabu, 15 Maret 2023./Bloomberg
Kantor pusat Swiss National Bank (SNB) di Bern, Swiss, pada hari Rabu, 15 Maret 2023./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA -- Ketidakpastian terkait arah suku bunga global terus meningkat dalam beberapa minggu terakhir. Bank-bank sentral utama dunia cenderung berbeda dalam menentukan arah kebijakan moneternya. Lantas, bagaimana dampaknya ke Indonesia?

Chief Economist PermataBank Josua Pardede menuturkan European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE) memberikan sinyal dovish, di mana pemotongan suku bunga acuannya kemungkinan besar dapat terjadi lebih cepat pada tahun ini. 

“Hal ini dipicu oleh proses disinflasi berlanjut dan kondisi ekonomi kawasan Eropa dan Inggris Raya yang sudah mencatatkan technical recession atau kontraksi ekonomi dalam dua kuartal berurutan,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (5/4/3024)

Sementara itu, Swiss National Bank (SNB) menjadi bank sentral utama dunia yang pertama kali melakukan pemangkasan suku bunga acuan pada tahun ini, sejalan dengan tingkat inflasinya yang secara konsisten sudah berada di bawah target sasarannya.

Berbeda dengan kebanyakan bank sentral, Bank of Japan (BoJ) malah memutuskan untuk keluar dari zona suku bunga acuan negatif dengan menaikkan suku bunga jangka pendeknya. Hal ini lantaran, inflasi Jepang yang terus berada di atas target dan adanya risiko inflasi ke depan dari kenaikan gaji tertinggi dalam tiga dekade terakhir. 

Meski demikian, kata Josua, BoJ tetap akan akomodatif dalam menjaga suku bunga jangka panjangnya walau menghilangkan kebijakan Yield Curve Control (YCC), dengan tetap mempertahankan jumlah pembelian Japanese Government Bond (JGB) dan akan menambah jumlah pembelian jika yield dirasa naik terlalu tinggi.

Lebih lanjut, the Fed pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) terakhir malah merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi inti Amerika Serikat untuk tahun ini. Ini menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat masih relatif solid dan resilient.

Baginya, perkembangan kondisi ekonomi Amerika Serikat terkini pun menunjukkan bawah pasar tenaga kerja masih relatif ketat dan proses disinflasi mulai menunjukkan perlambatan. 

Walau begitu, the Fed tetap memberikan sinyal bahwa pemotongan suku bunga acuan tetap terbuka pada tahun ini meski menyatakan tidak akan terburu-buru dalam melakukannya. 

“The Fed kembali menegaskan bahwa keputusan moneternya ke depan akan tetap berdasarkan perkembangan indikator ekonomi terkini,” pungkasnya.

Perkembangan kondisi suku bunga global yang cenderung berlainan tersebut membuat sentimen risk-off di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali meningkat. Hal ini terlihat terutama pada pasar obligasi Indonesia yang sudah mencatatkan net outflow secara year-to-date. 

“Banyak investor dan traders cenderung kembali memindahkan portofolionya ke safe-haven assets sehingga memicu capital outflow dari pasar keuangan negara berkembang dan mendorong pelemahan mata uang Asia termasuk Rupiah,” sebutnya.

Pada saat yang sama, Indonesia juga harus dihadapkan dengan risiko kembalinya twin deficit atau kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal. 

Data terakhir menunjukkan bahwa surplus neraca dagang Indonesia terus menyusut, sejalan dengan berlanjutnya normalisasi harga komoditas dan kondisi ekonomi Tiongkok, mitra dagang utama Indonesia, yang cenderung terus melemah. Alhasil, ini meningkatkan risiko pelebaran defisit pada neraca transaksi berjalan pada tahun ini. 

Dari segi fiskal, terjadi ketidakpastian terkait dengan program-program pemerintahan baru ke depan yang mana banyak pihak menilai cukup agresif sehingga dapat mendorong peningkatan belanja negara cukup signifikan.

Di sisi lain, penerimaan negara cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga komoditas. Data terkini menunjukkan bahwa APBN masih mencatatkan surplus, namun jika dibandingkan dengan posisi periode yang sama tahun lalu, surplus cenderung menurun. 

Hal ini memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke depan sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi Indonesia. Tercatat bahwa kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) terus menurun dari awal tahun.

Tantangan-tantangan tersebut, baik yang bersumber dari sisi eksternal maupun domestik, akhirnya akan mempengaruhi keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menentukan timing dan besar pemotongan BI-rate ke depan. 

Dalam jangka pendek, ditambah dengan risiko inflasi yang meningkat terutama dari sisi harga pangan, akan membuat Bank Indonesia cenderung akan mempertahankan BI-rate pada level saat ini. Ruang pemangkasan kemungkinan terjadi pada paruh kedua tahun ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Arlina Laras
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper