Bisnis.com, JAKARTA — Indeks harga konsumen atau inflasi Amerika Serikat diperkirakan meningkat moderat pada Juli 2025, meskipun kenaikan harga barang seperti furnitur rumah tangga dan pakaian akibat tarif Trump kemungkinan membuat inflasi inti mencatat lonjakan terbesar dalam enam bulan terakhir.
Survei ekonom Reuters memperkirakan indeks harga konsumen atau consumer price index (CPI) naik 0,2% pada Juli, melambat dari kenaikan 0,3% pada Juni. Perlambatan ini mencerminkan sedikit penurunan harga bensin yang menahan kenaikan harga pangan.
Kenaikan harga pangan disebut dipicu oleh kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian, seiring kebijakan pemerintahan Presiden Donald Trump yang mempercepat deportasi migran ilegal, serta pengenaan tarif impor.
Sementara itu, secara tahunan, CPI Juli diperkirakan tumbuh 2,8% setelah naik 2,7% pada Juni.
Tanpa memperhitungkan komponen pangan dan energi yang bergejolak, CPI inti diproyeksikan naik 0,3%—tertinggi sejak Januari—setelah naik 0,2% pada bulan sebelumnya. Lonjakan ini terutama disebabkan kenaikan harga barang yang sensitif terhadap tarif, termasuk suku cadang kendaraan bermotor dan mainan.
Sementara itu, inflasi masih tertahan karena permintaan melemah, yang menekan kenaikan harga jasa seperti tiket pesawat, tarif hotel, dan penginapan. Secara tahunan, CPI inti diperkirakan meningkat 3,0% setelah 2,9% pada Juni.
Baca Juga
Chief of Investment Strategy and Research Glenmede, Jason Pride, menyebut konsumen sejauh ini menanggung sekitar sepertiga beban tarif berdasarkan data Juni.
“Saat persediaan pra-tarif habis, pelaku usaha kemungkinan mulai membebankan lebih banyak biaya kepada rumah tangga dalam beberapa bulan mendatang,” ujarnya dikutip dari Reuters pada Selasa (12/8/2025).
The Fed memantau indikator inflasi yang berbeda dari target 2% bank sentral. Inflasi Juli yang sesuai perkiraan diperkirakan tidak akan mengubah harapan pasar bahwa bank sentral AS akan kembali melonggarkan kebijakan pada September, setelah mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%—4,50% selama lima pertemuan berturut-turut sejak Desember 2024.
Sorotan ke Data BPS AS
Laporan CPI yang akan dirilis Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS) pada Selasa ini hadir di tengah kekhawatiran atas kualitas data inflasi dan ketenagakerjaan, menyusul pemangkasan anggaran dan tenaga kerja yang memicu penghentian pengumpulan data di sebagian wilayah.
Kekhawatiran ini meningkat setelah Trump memecat Kepala BLS Erika McEntarfer awal Agustus, menyusul data pertumbuhan lapangan kerja Juli yang melemah dan revisi tajam pada data Mei—Juni.
Penghentian pengumpulan data terjadi setelah bertahun-tahun pendanaan minim, diperparah kebijakan pemangkasan anggaran dan PHK massal pegawai pemerintah oleh Gedung Putih.
BLS mengakui telah menghentikan pengumpulan data CPI sepenuhnya di satu kota di Nebraska, Utah, dan New York, serta mengurangi 15% sampel di 72 wilayah lainnya. Hal ini berdampak pada survei harga komoditas, jasa, dan perumahan.
Untuk menutupi data yang hilang, BLS menggunakan metode different cell imputation, yang memperluas cakupan geografis harga. Penggunaan metode ini melonjak menjadi 35% pada Juni dari hanya 8% pada Juni 2024.
Meski tidak menimbulkan bias, ekonom menilai kenaikan porsi estimasi model ini berpotensi meningkatkan volatilitas data CPI.
“Ada risiko semakin besar inflasi ditopang oleh model, asumsi, dan estimasi alih-alih harga riil di lapangan,” kata Kepala Ekonom AS Morgan Stanley, Michael Gapen.