Bisnis.com, JAKARTA – Lapisan masyarakat kelas menengah dinilai menjadi pihak yang paling terdampak atas rencana pemerintah untuk mengerek tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025.
Kenaikan yang telah terencana ini disebut sebagai upaya menambah penerimaan lantaran PPN menjadi tulang punggung di antara penerimaan pajak lainnya dalam pundi-pundi kas negara.
Ketentuan kenaikan PPN menjadi 12% diteken langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dalam Pasal 7 Bab IV beleid tersebut, tercantum tarif PPN naik 1% menjadi sebesar 11% yang telah mulai berlaku sejak 1 April 2022.
“Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu.. sebesar 12% [dua belas persen] yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025,” tulis huruf b ayat (1) Pasal 7 beleid tersebut, dikutip Selasa (12/3/2024).
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu mencatat saat ini Indonesia belum memaksimalkan pemungutan PPN. Indonesia setidaknya baru mampu menjaring 63,58% dari total PPN yang seharusnya dapat dipungut.
Baca Juga
Tercermin dari belanja perpajakan atau tax expenditure yang didominasi oleh fasilitas PPN. Seperti PPN Ditanggung Pemerintah (DTP), hingga mencakup 65% dari total belanja perpajakan pada 2019.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi sementara Pendapatan Negara dan Hibah hingga 31 Desember 2023 tercatat Rp2.774,30 triliun. Realisasi tersebut tembus 112,64% dari target APBN 2023 atau 105,20 persen dari target Perpres Nomor 75/2023). Penerimaan pendaparan negara tumbuh 5,25 persen dibandingkan tahun lalu (year-on-year/yoy).
Lebih lanjut, penerimaan Pajak terutama berasal dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Nonmigas Rp993,03 triliun dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM) Rp764,34 triliun.
Realisasi sementara 9 penerimaan Pajak dari komponen penerimaan PPN/PPnBM terutama ditopang oleh penerimaan PPN, khususnya PPN Dalam Negeri (PPN DN) dan PPN Impor dengan kontribusi masing-masing 62,35% dan 33,47% terhadap total penerimaan PPN/ PPnBM.
Secara kumulatif PPN/PPnBM tumbuh 11,16% (yoy). Secara lebih detil, hingga 31 Desember 2023 PPN DN tumbuh 22,11% (yoy), namun PPN Impor terkontraksi 5,51 persen (yoy).
Penerimaan PPN DN yang masih tumbuh tersebut didorong oleh kondisi aktivitas ekonomi dan konsumsi masyarakat yang masih terjaga hingga akhir 2023.
Meski demikian, ekonom menilai konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah, akan cukup tertekan dengan kenaikan tarif ini.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Ahmad Akbar Susamto melihat pada dasarnya kelas menengah cenderung menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi barang dan jasa.
Dengan kenaikan PPN, biaya tambahan yang harus dibayar untuk pembelian barang dan jasa akan meningkat.
“Ini dapat mengurangi daya beli kelas menengah, memaksa mereka untuk mempersempit pengeluaran atau mengubah pola konsumsi mereka,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (12/3/2024).
Kelas menengah berpotensi mengubah gaya hidupnya dengan mengurangi pembelian barang-barang non-esensial atau mencari alternatif yang lebih murah.
Alhasil, hal ini dapat mempengaruhi industri tertentu, seperti pariwisata atau hiburan, yang mungkin mengalami penurunan permintaan dari konsumen kelas menengah.
Meskipun kelas menengah mungkin memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada kelompok pendapatan rendah, kenaikan PPN dapat menyebabkan tekanan tambahan pada anggaran mereka tanpa peningkatan yang sebanding dalam pendapatan.
“Ini dapat mengurangi kemampuan mereka untuk menabung atau berinvestasi untuk masa depan, terutama dalam hal perumahan, pendidikan, dan kesehatan,” tuturnya.
Konsumsi Rumah Tangga Melambat
Konsumsi rumah tangga padahal menjadi salah satu komponen utama dalam mendorong ekonomi Tanah Air.
Badan Pusat Statistik (BPS) membukukan konsumsi rumah tangga menjelaskan 53,18% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023. Secara kumulatif pada periode tersebut, konsumsi rumah tangga menjadi sumber pertumbuhan tertinggi sebesar 2,55% dari total pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05% (year-on-year/yoy).
Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar mengungkapkan bahwa pelambatan yang terjadi akibat menurunnya konsumsi masyarakat kelas menengah.
“Perlambatan konsumsi rumah tangga utamanya kalau kami perhatikan dari data yang kami catat terutama berasal dari perlambatan pengeluaran kelompok menengah atas,” ungkapnya dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Tercermin dari indikator seperti realisasi pajak penjualan bawang mewah (PPnBM) yang melambat, juga jumlah penumpang angkutan udara yang melambat dan penjualan mobil penumpang yang juga tidak sebanyak 2022.
Dari sisi investasi finansial seperti simpanan berjangka mengalami penguatan. Dengan kata lain, terjadi pergeseran kelompok menengah untuk lebih memilih investasi ketimbang melakukan belanja.
Namun pada 2022 dan 2023, setelah pemerintah menaikkan PPN dari 10% menjadi 11%, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu bertahan di level 5%.
Urgensi Kenaikan PPN
Sebagai catatan, tidak semua barang dan jasa kena pajak tertentu dikenakan PPN 12% pada tahun mendatang. Bahan pokok dan jasa pendidikan bahkan dibebaskan dari pajak ini.
Dalam indeks berita Kementerian Keuangan, penyesuaian tarif PPN merupakan upaya optimalisasi penerimaan pajak untuk meningkatkan rasio pajak agar tercapai fondasi perpajakan yang kuat.
Tarif PPN 10% di Indonesia pun belum pernah berubah sejak pertama kali sistem PPN diperkenalkan pada 1984. Sementara OECD mencatat 37 negara lain telah menyesuaikan tarif PPN dalam satu dekade terakhir.
Sementara secara global tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia yang sebesar 15,4 persen dan juga lebih rendah dari negara lainnya seperti Filipina (12%), China (13%), Arab Saudi (15%), Pakistan (17%), dan India (18%).
Tarif PPN/Sales tax/VAT di negara G20 (%) | |
---|---|
Negara | Tarif PPN (%) |
Argentina | 21 |
Australia | 10 |
Brasil | 17 |
Kanada | 5 |
China | 13 |
Uni Eropa | 20,8 |
Prancis | 20 |
Jerman | 19 |
India | 18 |
Indonesia |
11 |
Italia | 22 |
Jepang | 10 |
Meksiko | 16 |
Belanda | 21 |
Rusia | 20 |
Arab Saudi | 15 |
Singapura | 7 |
Afrika Selatan | 15 |
Korea Selatan | 10 |
Spanyol | 21 |
Swiss | 8,1 |
Turkiye | 20 |
Inggris | 20 |
Amerika Serikat | 0 |
Sumber: Trading Economics