Bisnis.com, JAKARTA- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) buka suara terkait keluhan pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT), khususnya industri polyester yang terancam setop produksi.
Adapun, ancaman tersebut datang setelah pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36/2023 tentang Kebijakan Pengaturan Impor yang mengubah pengawasan impor dari Post Border menjadi Border.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan peraturan tersebut juga diiringi dengan penerapan pertimbangan teknis dari Kemenperin untuk perizinan impor bahan baku industri.
"Jadi impor bahan baku itu tidak bisa dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan kalau tidak mendapatkan Pertek dari kami. Kemenperin dalam mengeluarkan Pertek banyak sekali dimensi yang menjadi perhatian," kata Agus, dikutip Selasa (13/2/2024).
Salah satu pertimbangan Kemenperin dalam mengeluarkan Pertimbangan Teknis (Pertek) yaitu kemampuan industri memproduksi barang yang dimintakan untuk impor.
Dia menegaskan bahwa hal tersebut menjadi tanggung jawab Kemenperin untuk memastikan industri memiliki bahan baku yang cukup, sekaligus memastikan tidak ada banjir impor di industri TPT.
Baca Juga
"Itu merupakan sebuah solusi yang saya kira win-win dalam konteks regulasi karena Pertek Kemenperin dianggap oleh pemerintah karena pengguna industri jadi tahu peta masing-masing sektor industri termasuk TPT baik itu di hulu, tengah, maupun hilir," terangnya.
Sebelumnya, Asosiasi Produsen Serta dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengungkap ancaman kelangkaan bahan baku industri polyester yang akan memicu belasan fasilitas manufaktur berhenti produksi.
Sekretaris Eksekutif APSyFI, Farhan Aqil mengatakan ketentuan dalam beleid tersebut menghambat impor bahan baku polyester yakni Mono Etilen Glikol (MEG). Terlebih, kebutuhan MEG di Indonesia 90% dari impor.
"Kondisi ini membuat 11 industri poliester panik dan terancam stop produksi selama 1-2 bulan kedepan," kata Farhan kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.
Terlebih, dia menegaskan bahwa hanya ada 1 industri dalam negeri yang memproduksi MEG dan belum mampu memenuhi kebutuhan domestik.