Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Pengusaha Industri Pariwisata (Gipi) akan mengajukan judicial review atau pengujian yudisial ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada pekan depan terkait dengan pajak hiburan.
Adapun, upaya hukum tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap Undang-Undang No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Permohonan tersebut sedikit mundur dari rencana awal yang ditargetkan disampaikan ke MK paling lambat akhir Januari 2024. Ketua Umum Gipi Hariyadi Sukamdani menyampaikan, ada sejumlah berkas permohonan yang perlu direvisi sehingga asosiasi belum bisa mengajukan pada akhir Januari 2024.
“Saya rasa minggu ini tidak terkejar mungkin awal minggu depan. Kalau tidak Senin, Selasa,” kata Hariyadi kepada awak media di Hotel The Langham, Rabu (31/1/2024).
Dalam permohonannya, Gipi meminta agar Pasal 58 ayat 2 dalam UU No.1/2022 untuk dibatalkan. Dalam pasal tersebut, tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
“Kita fokus itu saja [Pasal 58 ayat 2] karena masalahnya disitu,” ujarnya.
Baca Juga
Sebelumnya, Asosiasi Spa Terapis Indonesia (Asti) telah mengajukan judicial review pada 3 Januari 2024. Gugatan telah diterima oleh MK pada 5 Januari 2024.
Ketua Asti Mohammad Asyhadi mengatakan, pelaku usaha kian terbebani dengan pajak yang besar. Mengingat selain pajak PBJT 40%, pelaku usaha juga tetap membayar pajak PPN sebesar 11%, pajak penghasilan badan (PPh) 25%, PPh pribadi selaku pengusaha sebesar 5%-35%, tergantung penghasilan kena pajak atau PKP.
“Kami sepakat untuk melakukan judicial review sehingga pada 3 Januari kita ke MK, kemudian diterima secara resmi itu 5 Januari 2024,” kata Ketua Asti Mohammad Asyhadi dalam konferensi pers di Taman Sari Royal Heritage SPA, Kamis (11/1/2024).
Selain menggugat besaran pajak hiburan, Asti juga keberatan lantaran spa masuk dalam kategori jasa kesenian dan hiburan. Ini tercantum dalam pasal 55 ayat 1.
Padahal, kata Didi, spa tidak sama dengan hiburan Misalnya dalam Permenparekraf No. 4/2021 tentang Standar Kegiatan Usaha Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pariwisata, SPA tidak dikategorikan sebagai hiburan.
Kemudian, karena objek spa merupakan manusia, maka diatur oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang tercantum dalam UU No.36/2009 tentang Kesehatan dan UU No.36/2014 tentang Tenaga Kesehatan.
“Jadi dengan dasar itu, spa bukan hiburan,” tegasnya.