Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Enggan Temui Sri Mulyani, Ajukan Judicial Review Pajak Hiburan

Para pengusaha cenderung pesimistis dengan sikap instansi yang dipimpim Sri Mulyani untuk mengakomodir protes terkait penerapan tarif pajak hiburan 40%.
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (Gipi) Hariyadi Sukamdani dan Pengacara Hotman Paris usai menghadiri rapat di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (22/1/2024) - BISNIS/Ni Luh Anggela
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (Gipi) Hariyadi Sukamdani dan Pengacara Hotman Paris usai menghadiri rapat di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (22/1/2024) - BISNIS/Ni Luh Anggela

Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pengusaha sektor hiburan bulat menempuh jalur judicial review untuk meninjau penerapan tarif pajak dibandingkan melakukan mediasi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Para pengusaha enggan menemui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk protes aturan pajak hiburan 40%-75% dalam UU No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Upaya judicial review ditargetkan masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) akhir Januari 2024.

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani mengakui hingga saat ini pihaknya belum menemui pihak Kemenkeu soal keberatan terhadap kenaikan pajak hiburan. Para pengusaha cenderung pesimistis dengan sikap instansi yang dipimpim Sri Mulyani tersebut. 

"Kami belum ketemu, tapi kan menurut pandangan kami, kalau ketemu Kemenkeu percuma. Kan sudah jadi UU [Undang-undang], jadi positif," ujar Hariyadi usai menemui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Kantor Kemenko Marves, Jumat (26/1/2024).

Menurut Hariyadi, para pengusaha mempertanyakan asal-usul justifikasi besaran pajak hiburan sebesar 40% atau 75% itu. Pengusaha sektor hiburan menganggap, seharusnya pajak hiburan tidak bisa disamakan dengan pajak barang mewah yang sifatnya lebih personal.

Bahkan, pengusaha menduga bahwa ketetapan angka pajak hiburan 40%-75% dilakukan hanya berdasarkan ideologis personal, alih-alih kondisi ekonomi secara nyata. Pengenaan pajak hiburan yang terlampau tinggi dipastikan pengusaha akan berimbas pada lapangan kerja di sektor tersebut. 

"Kalau memang enggak boleh, ya engak boleh aja. Bikin Perda [Peraturan Daerah] enggak boleh nih, diskotek misalnya enggak diizinkan. Tapi jangan bermain di pajak dong, itu enggak bagus," ucapnya.

Oleh karena itu, Hariyadi berujar bahwa GIPI maupun PHRI saat ini tengah dalam proses mengajukan gugatan (judical review) untuk pembatalan pasal 58 ayat (2) UU No.1/2022 ke Mahkamah Konstitusi. 

"Sudah sudah, kita sudah tunjuk lawyer-nya sedang berjalan. Target kita 31 januari [2024] the latest sudah bisa masuk [di MK]," katanya.

Berdasarkan catatan Bisnis.com, Rabu (17/1/2024), Kementerian Keuangan menjelaskan, bahwa bukan tanpa alasan pemerintah mengerek batas bawah tarif pajak hiburan ke angka 40%. 

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana menjelaskan, kenaikan tersebut sudah melewati diskusi antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Lydia menyampaikan realisasi pajak daerah terus meningkat setelah anjlok pada 2020 dan 2021. Bila membandingkan sebelum Covid-19 melanda atau pada 2019, pendapatan dari pajak hiburan mencapai Rp2,4 triliun. 

Kemudian pada 2020 anjlok menjadi Rp787 miliar. Realisasi pajak hiburan semakin turun saat puncak Covid-19 pada 2021, yang hanya mencapai Rp477 miliar. 

Pada 2022, industri pariwisata dari sektor hiburan mulai pulih dan realisasi penerimaan pajak hiburan mencapai Rp1,5 triliun. 

“Sudah hampir mendekati sebelum Covid, dan data kami di 2023, data sementara Rp2,2 triliun, jadi sudah bangkit,” lanjutnya  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dwi Rachmawati
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper