Bisnis.com, JAKARTA - Kelompok pengusaha bar mengeluhkan adanya penurunan omzet 30-40% imbas kabar kenaikan pajak hiburan 40%-75% yang diterapkan oleh pemerintah.
Komisaris Utama Black Owl, Efrat Tio mengatakan bahwa para pelanggan mulai khawatir soal kenaikan pajak hiburan hingga menimbulkan keraguan saat ingin melakukan reservasi di barnya. Meskipun kenyataannya, aturan pajak terbaru itu belum diterapkan karena masih menuai kontroversi.
"Sekarang aja, kami belum terapkan di lapangan, walaupun sudah disosialisasi. Reservasi dan tingkat kunjungan sudah turun sekitar 30-40%. Gimana kalau sudah benar-benar diterapkan? Wah, habis kita," ujar Efrat saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Jumat (26/1/2024).
Dia menyebut, kenaikan pajak hiburan dipastikan berdampak pada keberlangsungan tenaga kerja di usaha bar. Adapun saat ini, Black Owl sendiri telah mempekerjakan hampir 1.000 orang.
Apalagi, Black Owl, kata Efrat kini tengah membangun empat outlet baru. Aturan pajak hiburan 40% dipastikan akan memukul usahanya semakin dalam. Penurunan omzet hingga 40% pun kini sudah dirasakan outlet Black Owl di Jakarta.
Secara terperinci, Efrat menyebut selama ini keuntungan bersih usahanya hanya di kisaran 5%-10%. Adanya pajak hiburan hingga 40% tentunya akan membuat keuangan usaha menjadi defisit.
Baca Juga
Efrat pun blak-blakan, apabila tren penurunan omzet sekitar 30-40% ini terus berlanjut akibat kenaikan pajak hiburan maka dipastikan usaha bar akan gulung tikar.
"Ya kalau misalnya harus tutup ya semuanya kita lay off [PHK karyawan]," ungkapnya.
Sementara itu, pengacara sekaligus pelaku usaha di sektor hiburan Hotman Paris pun menganggap aturan pajak hiburan berkisar 40%-75% itu di luar akal sehat. Dia bahkan menyebut sudah ada daerah yang menarik pajak ke pelaku usaha hiburan dengan batas atas 75% dari gross pendapatan.
"Bahkan di daerah sudah ada yg pakai 75% dari gross pendapatan. Masuk di akal nggak lo?," ucap Hotman dalam kesempatan yang sama.
Hotman membandingkan pajak hiburan sejumlah negara tetangga seperti Malaysia sebesar 6% dan Singapura 9% tidak sebesar ketentuan pajak hiburan di Dalam Negeri.
"Kita aja sampe 40% bahkan ada yang 75% dari pendapatan kotor. Kemudian bayar pajak Pph 20%, bayar pajak karyawan, bayar pajak minuman Ppn 11%. Berarti pajak hampir 100%, negara apa ini?," tutur Hotman.
Oleh karena itu, sambil menunggu proses judicial review Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) soal pajak hiburan 40%-75,%, Hotman meminta agar kepala daerah mengamalkan pasal 101 ayat (3) beleid tersebut.
Adapun, dalam pasal itu pemerintah daerah berhak untuk mengeluarkan insentif fiskal berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya.
Terdapat dua skema insentif fiskal yang bisa dilakukan yakni melalui permohonan dari perusahaan terkait ke kepala daerah, atau kepala daerah punya kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan berdasarkan jabatannya.
Namun, para pengusaha sektor hiburan berharap agar skema kedua bisa dilakukan pemerintah daerah untuk mengembalikan aturan pajak hiburan seperti semula.
"Kalau ada [kepala daerah] yang masih ragu-ragu tolong baca pasal ini. Boleh pakai tarif lama, tanpa harus kami minta," ucap Hotman.