Bisnis.com, JAKARTA - Klaim calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka soal Food Estate yang dianggap sebagain berhasil masih dipertanyakan. Terutama, bagaimana ihwal korelasi dampak proyek Food Estate terhadap tren impor pangan.
Ekonom Center for Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengkritik proyek Food Estate yang digadang-gadang sebagai strategi ketahanan pangan nasional justru tidak mampu menahan laju impor pangan. Indonesia dalam satu dekade terakhir tetap melakukan impor pangan dengan jumlah yang terus bertambah.
"Harusnya, Food Estate yang dibangun dalam beberapa tahun ke belakangan ini berkorelasi dengan ketahanan pangan nasional dan daerah, tapi yang terjadi Food Estate-nya dibangun, impor pangannya makin tinggi," ujar Bhima saat dihubungi, Senin (22/1/2024).
Dia juga mempertanyakan seberapa besar produksi pangan yang dihasilkan dari proyek Food Estate. Seharusnya, Food Estate sebagai langkah ekstensifikasi pertanian bisa menghasilkan produksi pangan yang mumpuni untuk stabilitas harga dan pasokan.
Namun, dalam tata kelola Food Estate, kata Bhima justru sarat konflik kepentingan. Misalnya, proyek Food Estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah yang justru digarap oleh Menteri Pertahanan, alih-alih Menteri Pertanian. Petani dan masyarakat pun belum ketibanan manfaat dari Food Estate singkong yang kini ditanami jagung itu.
Oleh karena itu, Bhima melihat bahwa upaya peningkatan produksi pangan sebaiknya dilakukan lewat intensifikasi. Pengadaan pupuk dan mekanisasi seperti yang juga disebut Gibran pun diakuinya jadi langkah tepat.
Baca Juga
"Jadi perdebatannnya yaitu ekstensifikasi skala besar dan terbukti dengan Food Estate yang ada sekarang ini justru menimbulkan kerusakan lingkungan. Karena kalau ditanya sebaliknya dari anggaran Food Estate sekarang berapa banyak produksi pangan yang bisa dihasilkan?," ucapnya.
Secara terpisah, Guru Besar IPB University, sekaligus Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas tidak menampik bahwa selama satu dekade pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) produksi beras mengalami penurunan sekitar 1% setiap tahunnya. Padahal, di sisi lain jumlah penduduk terus tumbuh dengan rata-rata pertumbuhan di rentang 1,3-1,4% per tahun.
Andreas menyebut nilai impor pangan pada 2013 sekitar US$10 miliar kemudian naik hampir dua kali lipat pada 2022 sebesar US$18,6 miliar.
Mirisnya, meskipun produksi beras merosot, masyarakat Indonesia saat ini justru tertolong oleh impor gandum. Bahkan, Andreas mengatakan, saat ini gandum telah menyumbang 28% proporsi pangan pokok masyarakat secara nasional.
"Kita tertolong oleh impor gandum. Jadi 28% pangan pokok kita terdiri dari makanan berbasis gandum. Dan gandum itu 100% kita impor," ucapnya.
Sementara itu, Peneliti Pembangunan Pangan dan Energi Berkelanjutan, Indef, Dhenny Yuartha menilai bahwa program monokultur Food Estate justru telah menggerus kergaman pangan lokal di daerah lokasi Food Estate berada.
"Masyarakat yang sebenarnya punya kearifan lokal secara akses pangan dan gizi terpenuhi, keragaman pangan terpenuhi, tapi saat akses itu ditutup untuk Food Estate misalnya, artinya industri pangan masuk ke situ," ujar Dhenny dalam diskusi publik secara virtual, Senin (22/1/2024).
Sebelumnya, cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka mengklaim masih ada program Food Estate yang berhasil. Pembelaan Gibran muncul seiring kritik kegagalan Food Estate dari dua cawapres lainnya.
"Nomor 1 dan 3 ini kan kompak bilang Food Estate gagal. Saya tegaskan sekali lagi ya pak, memang ada yang gagal, tapi ada yang berhasil juga yang sudah panen," ujar Gibran dalam debat cawapres, Minggu (21/1/2024).
Gibran menyebut bahwa Food Estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah menjadi salah satu lokasi berhasil. Bahkan Gibran mengklaim Food Estate Gunung Mas sudah berhasil menghasilkan panen singkong dan jagung.
"Di Gunung Mas Kalteng itu sudah panen jagung, singkong. Cek saja datanya," sebut Gibran.