Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa bukan tanpa alasan pemerintah mengerek batas bawah tarif pajak hiburan ke angka 40%.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana menjelaskan, kenaikan tersebut sudah melewati diskusi antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lydia menyampaikan bahwa pemerintah mempertimbangkan kenaikan tersebut dengan melihat industri pariwisata, utamanya sektor hiburan, telah bangkit dari pandemi Covid-19.
“Bagaimana kemudian [pengusaha mengeluh] kan situasi masih belum pulih? Berdasarkan data kami, sudah rebound,” ungkapnya, dikutip Rabu (17/1/2024).
Lebih lanjut, Lydia menyampaikan realisasi pajak daerah terus meningkat setelah anjlok pada 2020 dan 2021.
Bila membandingkan sebelum Covid-19 melanda atau pada 2019, pendapatan dari pajak hiburan mencapai Rp2,4 triliun. Kemudian pada 2020 anjlok menjadi Rp787 miliar.
Baca Juga
Realisasi pajak hiburan semakin turun saat puncak Covid-19 pada 2021, yang hanya mencapai Rp477 miliar.
Pada 2022, industri pariwisata dari sektor hiburan mulai pulih dan realisasi penerimaan pajak hiburan mencapai Rp1,5 triliun.
“Sudah hampir mendekati sebelum Covid, dan data kami di 2023, data sementara Rp2,2 triliun, jadi sudah bangkit,” lanjutnya.
Adapun, pemerintah tidak serta merta menekan pengusaha dengan tarif yang ada. Melainkan, pemerintah telah menyiapkan sederet insentif yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Berdasarkan ayat (1) Pasal 101 UU HKPD, gubernur/bupati/wali kota boleh memberikan fasilitas pajak dan retribusi dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi.
“Jika ada pelaku usaha yang keberatan, merasa belum pulih, atau UMKM, itu boleh diberikan insentif fiskal, oke tahun ini enggak 40% dulu ya, [tapi] kita lihat laporan keuangannya,” kata Lydia.
Namun, jika kepala daerah melihat kondisi sosial ekonomi memang memerlukan perlakuan khusus, maka insentif fiskal dapat diberikan secara massal.
Di sisi lain, sebelumnya pengusaha menilai penerapan pajak ini diterapkan pada waktu yang tidak tepat.
Wakil Ketua Umum (WKU) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang mengatakan, setidaknya sektor ini perlu waktu 3-4 tahun untuk pulih, seiring dengan pemulihan ekonomi.
“Yang jelas, cash flow pengusaha belum pulih, apalagi sektor hiburan, 2,5 tahun tutup, mereka baru satu tahun ini pulih, artinya momentum saat ini belum pas untuk menaikkan pajak hiburan,” tuturnya kepada Bisnis, Senin (15/1/2024).