Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Investor Asing Lego Rp17,2 Triliun Saham di China, Ada Apa?

Investor asing tercatat melego saham senilai Rp17,2 triliun di China. Apa penyebabnya?
Mata uang Yuan China. Dok. Freepik
Mata uang Yuan China. Dok. Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Investor asing telah menjual saham di China pada awal 2024 karena pesimisme yang semakin mendalam terhadap lambatnya pemulihan ekonomi di negeri tersebut. 

Mengutip Bloomberg, Senin (15/1/2024) dana global telah melepas 7,9 miliar yuan atau sekitar Rp17,2 triliun saham dalam dua minggu pertama 2024, setelah melakukan pembelian besar-besaran pada minggu terakhir 2023. 

Sentimen tetap pesimis karena tekanan deflasi China masih berlanjut, sementara dukungan kebijakan dianggap kurang memadai.

Saham-saham China mengalami capaian awal tahun terburuk sejak 2019 dan diperdagangkan mendekati level terendahnya dalam hampir lima tahun terakhir.

Penjualan ini terjadi setelah investor asing mencatatkan pembelian tahunan terkecil pada saham dalam negeri pada 2023, menempatkan Januari 2024 berada di jalur arus keluar selama enam bulan berturut-turut.

Mengutip Reuters, pinjaman China pada 2023 mencapai rekor baru lantaran  bank sentral mempertahankan kebijakan yang akomodatif untuk mendukung pemulihan ekonomi yang tidak terduga.

Berdasarkan data PBOC yang dirilis pada Jumat (12/1/2024), bank-bank China memberikan pinjaman baru sebesar 1,17 triliun yuan pada Desember 2023, naik dari November 2023 namun jauh dari ekspektasi para analis. 

Untuk tahun ini, pinjaman bank baru mencapai rekor 22,75 triliun yuan, naik 6,8% dari 21,31 triliun yuan pada 2022, yang juga sebelumnya mencatatkan rekor.  

Namun, China masih berjuang untuk mendapatkan kembali daya tariknya dengan pemulihan pasca Covid-19. Kepercayaan konsumen dan bisnis masih lemah, pemerintah daerah sedang berjuang di bawah utang yang besar, dan krisis properti yang berkepanjangan sangat membebani konstruksi dan investasi.

Dengan lemahnya permintaan, perekonomian juga menghadapi tekanan deflasi yang terus-menerus menjelang 2024, sehingga menjaga ekspektasi terhadap langkah-langkah pelonggaran kebijakan yang lebih lanjut untuk menopang pertumbuhan tetap ada.

Data lain yang dirilis China pada Jumat (12/1) memperkuat pandangan bahwa pemulihan ekonomi sangat tidak merata, dengan ekspor yang sedikit meningkat namun tekanan deflasi masih berlanjut, di tengah melemahnya permintaan domestik. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper