Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia dinilai perlu untuk mengantisipasi terjadinya pelambatan ekonomi yang berpeluang terjadi di China. Apalagi, perekonomian China belum sepenuhnya pulih usai pandemi Covid-19.
Dosen sekaliigus peneliti di Paramadina Public Policy Institute, Muhamad Iksan, mengatakan perlambatan ekonomi China tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator. Salah satunya adalah melemahnya permintaan dalam negeri. Sebagai contoh, pada periode Januari hingga Februari 2023, pertumbuhan penjualan ritel hanya menyentuh 18,4 persen.
“Angka ini masih berada di bawah perkiraan para analis, yang sebelumnya memperkirakan bahwa pertumbuhan ritel di China akan tumbuh sebesar 21% pada periode di atas,” tutur Iksan siaran persnya, Jumat (29/12/2023).
Untuk itu dia berpandangan bahwa Indonesia perlu melakukan langkah antisipatif. Salah satu langkah yang perlu Indonesia lakukan adalah menjaga keseimbangan dalam hubungan ekonomi dengan China dan dengan negara-negara lainnya, termasuk dengan Amerika Serikat.
Sementara itu, Pemerhati China dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Johanes Herlijanto berpandangan bahwa perlambatan ekonomi China pada 2023 merupakan kelanjutan dari kondisi di tahun-tahun sebelumnya.
Menurutnya, kondisi tersebut muncul bersamaan dengan masalah-masalah terkait, salah satunya adalah krisis properti yang sudah mulai terlihat setidaknya sejak pertengahan tahun 2022.
Baca Juga
Selain itu, terdapat pula permasalahan lain, seperti pengangguran, menggelembungnya hutang dalam negeri yang membebani pemerintah-pemerintah daerah di China, serta berkurangnya daya beli masyarakat.
“Uniknya, masalah pengangguran tersebut muncul bersamaan dengan permasalahan sulitnya pabrik-pabrik memperoleh tenaga kerja,” lanjut Johanes.
Menurut Johanes yang juga merupakan Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), bersamaan dengan permasalahan-permasalahan tersebut, muncul pula kecenderungan sebagian anak-anak muda untuk menjadi ‘kaum rebahan’ (tangpingzu).
Mereka memilih untuk menjalani hidup santai atau bahkan menjadi ‘anak penuh waktu.’ Dalam pandangannya, fenomena yang muncul di sebagian kalangan anak muda China ini merupakan akibat dari kejenuhan mereka terhadap dunia kerja di China yang cenderung menerapkan waktu kerja yang panjang.
“Sebagian anak-anak muda di China nampaknya mengalami kejenuhan dengan trend bekerja yang dikenal sebagai budaya kerja ‘996,’ yang mengharuskan mereka bekerja dari pukul 9 hingga pukul 21 selama 6 hari dalam satu minggu,” tutur Johanes.
Senada dengan Iksan, Johanes pun berpandangan bahwa perlambatan ekonomi yang menerpa China di atas perlu menjadi bahan refleksi bagi negara-negara tersebut.
“Sebagai langkah antisipasi, penting bagi Indonesia untuk memastikan tersedianya mitra-mitra dagang maupun sumber-sumber investasi alternative,” tutur Johanes.