Bisnis.com, JAKARTA — Barang transshipment menjadi salah satu isu yang masuk dalam kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat belum lama ini. Hanya saja, isu transshipment itu dinilai berpotensi menggagalkan masuknya investasi asing langsung ke Indonesia.
Adapun Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa AS dan Indonesia sudah mencapai kesepakatan dagang pada Selasa (15/7/2025) waktu setempat. AS menurunkan tarif impor barang asal Indonesia dari 32% ke 19%, sementara barang ekspor AS ke Indonesia tidak dikenai tarif atau 0%.
Di samping itu, jika terdapat barang transshipment dari negara dengan tarif yang lebih tinggi maka tarif negara asal tersebut akan ditambahkan ke tarif yang dibayar oleh Indonesia.
Misalnya, AS menetapkan tarif impor 30% ke barang asal China. Jika barang China melakukan transshipment lewat Indonesia sebelum masuk ke pasar AS maka tarif impor yang dibayar sebesar 49% (19% tarif Indonesia ditambah 30% tarif China).
Peneliti senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan menjelaskan sebelum adanya isu transshipment, ada harapan besar investasi asing langsung akan mengalir ke Indonesia.
Alasannya, AS menetapkan tarif impor tinggi ke China. Barang-barang yang diproduksi di China pun terancam tidak kompetitif lagi di AS karena harganya meningkat tajam, sejalan dengan kenaikan tarif impor.
Baca Juga
Akibatnya, muncul potensi realokasi pabrik-pabrik dari China ke negara lain yang tarif impornya ke AS lebih rendah agar bisa tetap menjual barang-barangnya ke Negeri Paman Sam. Realokasi pabrik-pabrik China itu sempat terjadi dalam masa pemerintahan pertama Trump (2017—2021).
Hanya saja, Deni mengungkapkan kesepakatan transshipment antara RI-AS membuat harapan realokasi pabrik-pabrik dari China menjadi tidak relevan. Bagaimanapun, pabrik China yang merealokasikan pabriknya ke Indonesia akan tetap terancam kena tarif tinggi sebesar 49% apabila ingin ekspornya produknya ke AS karena bisa dianggap sebagai barang transshipment.
"Kalau ancaman [tarif barang transshipment] itu nyata kan artinya enggak akan juga [pabrik-pabrik China] ke Indonesia gitu. Jadi, harapan bisa datang investment ke Indonesia itu enggak ada," ujar Deni kepada Bisnis, Rabu (16/7/2025).
Lebih dari itu, sambungnya, Vietnam mendapatkan kesepakatan dagang yang lebih baik dengan AS yaitu tarif impornya turun dari 46% menjadi 20%. Sebagai perbandingan, tarif itu lebih tinggi 1% dari Indonesia (19%).
Meski sekilas tampak lebih baik, apabila dari perspektif isu transshipment justru sebaliknya. Barang negara lain yang melakukan transshipment ke Vietnam sebelum masuk ke AS 'hanya' mendapatkan tarif 40%.
Artinya, jika barang China melakukan transshipment lewat Vietnam sebelum ke AS maka akan mendapatkan tarif 40%. Sementara, jika barang China yang melakukan transshipment lewat Indonesia sebelum ke AS maka akan mendapatkan tarif 49%.
Dengan demikian, jika pabrik China ingin melakukan realokasi ke negara lain maka akan lebih baik ke Vietnam daripada Indonesia. "Tarif kita misalnya lebih rendah dibanding Vietnam sedikit 1%, itu jadi enggak ngaruh ya," ungkap Deni.
Oleh sebab itu, Deni menyimpulkan dengan struktur industri yang masih sangat bergantung pada impor bahan baku, Indonesia sulit mengambil manfaat penuh dari kesepakatan perdagangan dengan AS apabila ketentuan asal barang (rules of origin) dan transshipment tidak dinegosiasikan lebih lanjut.