Bisnis.com, JAKARTA – Rasio pajak atau tax ratio menjadi salah satu bahasan dalam debat calon wakil presiden (cawapres) perdana pada pekan lalu.
Menaikkan rasio pajak juga masuk dalam visi misi pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden untuk periode 2024-2029.
Paslon nomor urut 1 misalnya, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) menargetkan bisa menaikkan rasio pajak ke kisaran 13,0% hingga 16,0% terhadap PDB.
Sementara paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming menargetkan kenaikan rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang lebih tinggi, yaitu sebesar 23%.
Untuk diketahui, tax ratio merupakan pembanding penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB) suatu negara.
Berdasarkan situs Kementerian Keuangan, disebutkan bahwa di dalam perekonomian, indikator tax ratio digunakan untuk menunjukkan kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak.
Baca Juga
Sementara itu, pemerintah Indonesia mendefinisikan tax ratio dalam dua arti, arti sempit dan arti luas.
Arti sempit tax ratio, pada awalnya hanya terdiri dari pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat, tapi pada 2015 cakupannya diperlebar dengan pajak daerah.
Sedangkan untuk arti luas, tax ratio terdiri dari pajak pemerintah pusat ditambah pajak daerah dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) SDA migas, tetapi pada 2015 diubah dengan pajak pemerintah pusat, PNBP SDA migas, serta PNBP mineral dan batubara (minerba).
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat, tax ratio Indonesia adalah sebesar 10,39% terhadap PDB pada 2022, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 9,12% terhadap PDB.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Dhenny Yuartha Junifta menyampaikan bahwa tantangan dalam menaikkan rasio pajak yang masih rendah selama ini karena Indonesia masih mengandalkan sumber penerimaan jangka pendek, seperti penerimaan dari ekspor SDA.
Dia mengatakan tax ratio Indonesia misalnya, sempat meningkat hingga 13,3% terhadap PDB pada 2008 dan terbaru meningkat ke 10,4% pada 2022. Peningkatan kedua didorong oleh booming komoditas.
Selain itu, permasalahan utama saat ini menurutnya adalah masih banyaknya sektor yang under-tax dan didorong dengan pemberian insentif dalam jumlah yang sangat besar.
“Ada berbagai insentif perpajakan yang mesti dikelola, karena belanja perpajakan merupakan potensi penerimaan pajak yang akhirnya tidak dapat dipungut karena berbagai regulasi dan insentif yang diberikan pemerintah,” kata dia, dikutip Selasa (26/12/2023).