Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI Mulai Waswas Imbas Tarif Trump ke Ekspor Semester II/2025

Pemerintah RI waswas dampak tarif 19% Trump pada ekspor, meski surplus. Ekspor ke AS, China, India berkontribusi besar. Sri Mulyani dan Apindo cermati tantangan.
Presiden Prabowo Subianto membagikan momen berbincang dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait dengan negosiasi tarif dagang/Instagram Prabowo Subianto
Presiden Prabowo Subianto membagikan momen berbincang dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait dengan negosiasi tarif dagang/Instagram Prabowo Subianto

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah akan secara hati-hati mencermati dampak keputusan Presiden Donald Trump yang mengenakan tarif balasan sebesar 19% terhadap barang asal Indonesia. Keputusan ini berlaku sejak Agustus 2025.

Sekadar catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap Amerika Serikat (AS) bersama China, dan India menjadi tumpuan ekspor nonmigas Indonesia sepanjang Januari—Juni 2025. Total ekspor ke 3 negara tersebut berkontribusi terhadap 41,34% dari total ekspor nonmigas semester 1/2025.

Secara terperinci, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke China tercatat sebesar US$29,31 miliar yang utamanya terdiri atas besi dan baja, bahan bakar mineral, serta nikel dan barang daripadanya. Adapun, pangsa ekspor nonmigas ke China mencapai 22,83%.

BPS mencatat nilai ekspor nonmigas ke China untuk besi dan baja (HS 72) mencapai US$9,01 miliar, bahan bakar mineral (HS 27) senilai US$4,23 miliar, dan nikel dan barang daripadanya (HS 75) senilai US$3,26 miliar.

Sementara itu, nilai ekspor nonmigas ke AS tercatat sebesar US$14,79 miliar yang utamanya terdiri atas mesin dan perlengkapan elektrik, alas kaki, serta pakaian dan aksesorisnya atau rajutan.

BPS mencatat AS mencatatkan pangsa pasar ekspor nonmigas sepanjang Januari—Juni 2025 sebesar 11,52%.

Adapun, ekspor nonmigas ke AS di antaranya terdiri dari mesin dan perlengkapan elektrik (HS 85) mencapai US$2,8 miliar, alas kaki (HS 64) mencapai US$1,29 miliar, serta pakaian dan aksesorisnya atau rajutan (HS 61) senilai US$1,28 miliar. Mesin dan perlengkapan elektrik juga mencatat penambahan ekspor nonmigas tertinggi ke AS secara ctc, yaitu naik US$847,09 juta.

Sumber: paparan BPS
Sumber: paparan BPS

Kemudian, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke India tercatat sebesar US$8,97 miliar yang utamanya terdiri dari bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewani atau nabati, serta besi dan baja.

Perinciannya, ekspor nonmigas bahan bakar mineral (HS 27) mencapai US$2,97 miliar, lemak dan minyak hewani/nabati (HS 15) senilai US$1,56 miliar, serta besi dan baja (HS 72) dengan nilai US$0,72 miliar.

“Komoditas yang mencatat penurunan ekspor nonmigas terdalam ke India secara ctc adalah bahan bakar mineral yang turun US$971,7 juta,” tambahnya.

Peringatan dari Sri Mulyani

Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap penyebab lonjakan kinerja ekspor Indonesia yang turut membantu mengerek naik perekonomian nasional ke level 5,12% pada kuartal II/2025.

Sri Mulyani menjelaskan, lonjakan ekspor terjadi di tengah ketidakpastian akibat pengumuman tarif resiprokal yang dilakukan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati./JIBI
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati./JIBI

Menurutnya, kenaikan ekspor disebabkan oleh adanya front loading ekspor ke Amerika Serikat oleh para pelaku usaha. Menurutnya, hal tersebut mengingat pemberlakuan tarif baru akan dimulai pada 7 Agustus 2025 mendatang. 

"Jadi banyak pesanan ekspor sebelum kenaikan tarif itu dilakukan, bahkan sesudah terjadi pengumuman tersebut," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (5/8/2025). 

Ke depannya, Sri Mulyani mengatakan pihaknya akan mencermati secara hati-hati dampak keputusan Trump yang menetapkan tarif impor 19% untuk Indonesia. Tarif tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pungutan yang diumumkan Trump pada April lalu sebesar 32%.

"Kita harapkan momentum akan terjaga di kuartal tiga dan empat," jelas Sri Mulyani.

Tanggapan Apindo 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan, meski saat ini Indonesia masih mencatat surplus neraca perdagangan, tetapi ke depan akan semakin menantang usai diberlakukannya tarif resiprokal Trump terhadap semua negara, termasuk Indonesia.

Tarif Trump dijadwalkan mulai berlaku dalam tujuh hari ke depan sejak dirilisnya keputusan terbaru Trump pada 1 Agustus 2025, atau akan diberlakukan mulai 7 Agustus 2025.

“Kami tentu bersyukur kita masih bisa mempertahankan surplus perdagangan. Sejujurnya pasca adanya tarif resiprokal AS, Indonesia harus kerja keras agar bisa tetap surplus hingga akhir tahun,” kata Shinta, Jumat (1/8/2025).

Menurut Shinta, ada sejumlah faktor yang membuat Indonesia harus bekerja keras mempertahankan surplus neraca perdagangan. Pertama, pasar global diproyeksikan mengalami kontraksi permintaan sebagai efek samping dari penyesuaian pasar global terhadap arah kebijakan perdagangan AS.

“Ini bahkan diamini oleh institusi internasional seperti WTO yang memperkirakan demand perdagangan global akan kontraksi setidaknya 0,2%, di mana potensi kontraksi demand akan semakin besar pada negara-negara berkembang dan LDCs yang diversifikasi perdagangannya rendah seperti Indonesia,” ujarnya.

Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani
Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani

Selain itu, Shinta menuturkan bahwa harga komoditas global juga diperkirakan turun karena perubahan iklim perdagangan global. Imbasnya, semakin menyulitkan Indonesia dan negara berkembang lain untuk meningkatkan kinerja ekspor. 

Kedua, Indonesia harus rela kehilangan sebagian surplus perdagangan dengan AS sebagai bentuk komitmen dalam perjanjian dagang antara Indonesia dan Negara Paman Sam.

Ketiga, kebutuhan impor Indonesia yang terus meningkat menjadi tantangan dalam menjaga surplus perdagangan. Shinta mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa secara agresif menekan impor melalui regulasi untuk menciptakan surplus perdagangan.

“Karena langkah ini akan sangat backfire [berdampak negatif] terhadap pertumbuhan ekonomi dan kinerja industri di dalam negeri, termasuk pertumbuhan kinerja ekspor itu sendiri,” sambungnya.

Terlebih, Shinta menyampaikan bahwa sekitar 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal yang dibutuhkan industri dalam negeri agar investasi terealisasi dan bisa memproduksi barang/jasa termasuk produk ekspor untuk menjaga stabilisasi pasar domestik.

“Jadi impor harus tetap dibuka dan dibiarkan tumbuh selama tidak merusak persaingan dagang yang sehat di dalam negeri, dengan risiko terhadap penciptaan surplus dagang,” lanjutnya.

Menurut Shinta, ketiga hal itu bisa menciptakan kesulitan bagi Indonesia untuk mempertahankan surplus perdagangan ke depan jika hanya mengandalkan kondisi status quo.

“Satu-satunya cara untuk mempertahankan surplus adalah dengan diversifikasi produk ekspor dan negara tujuan ekspor,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dany Saputra
Editor : Edi Suwiknyo
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro