Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki mendesak pengesahan Rencana Undang-Undang (RUU) Perkoperasian bisa dilakukan pada awal tahun depan.
Teten mengatakan, revisi UU Nomor 25/1992 tentang Perkoperasian menjadi krusial. Menurutnya, apabila perbaikan beleid tidak segera dilakukan bakal menjadi bom waktu bagi sektor koperasi di dalam negeri.
"Kalau tidak segera dibenahi ini jadi bom waktu, banyak koperasi simpan pinjam yang bermasalah," ujar Teten dalam diskusi refleksi akhir tahun di Smesco, Kamis (21/12/2023).
Teten menjelaskan, urgensi pengesahan RUU Perkoperasian, yaitu masih lemahnya pengawasan pada saat pertumbuhan usaha koperasi kian masif. Oleh karena itu, dalam RUU Perkoperasian pihaknya telah mengusulkan adanya pengawasan eksternal, dan lembaga penjamin simpanan (LPS) untuk koperasi.
Namun, di sisi lain Teten menilai langkah DPR cenderung lambat dalam memfinalkan RUU Perkoperasian. Padahal, RUU Perkoperasian, kata Teten, telah disepakati oleh Komisi VI dan Surat Presiden (Surpres) sudah turun sejak bulan lalu.
"Jadi ini sangat mendesak karena itu kami terus sampaikan kepada pemimpin DPR untuk segera diprioritaskan. Saya kira tinggal menunggu di Komisi VI saja," jelasnya.
Baca Juga
Diberitakan Bisnis sebelumnya, Selasa (26/9/2023), Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop UKM Ahmad Zabadi menyampaikan, surat presiden terkait pembahasan RUU ini telah disampaikan dan sudah diterima DPR. Itu artinya, RUU Perkoperasian masuk dalam tahap pembahasan oleh DPR dan dipastikan mulai dibahas pada Oktober 2023.
“Pemerintah menargetkan agar pembahasan dan pengesahan RUU dapat terlaksana akhir 2023. Di mana status undang-undang ini adalah perubahan ketiga terhadap UU No. 25/1992,” kata Ahmad Zabadi dalam keterangan resmi, Selasa (26/9/2023).
Adapun, sejumlah poin yang menjadi perhatian perhatian pemerintah dalam RUU Perkoperasian, yaitu peneguhan identitas koperasi dengan mengadaptasi jati diri koperasi dari International Cooperative Alliance (1995) yang dipadukan dengan karakter dan semangat Indonesia, antara lain dalam bentuk asas kekeluargaan dan gotong royong.
Kedua, modernisasi kelembagaan koperasi dengan melakukan pembaruan pada ketentuan keanggotaan, perangkat organisasi, modal, serta usaha. Selain itu, adopsi dan rekognisi pada model yang sudah berkembang di kalangan masyarakat seperti koperasi syariah, koperasi multi pihak, apex koperasi, pola tanggung renteng, dan lain-lain.
Ketiga, peningkatan standar tata kelola yang baik (good cooperative governance) untuk mendorong koperasi-koperasi di Indonesia memiliki standar tersebut.
“Sehingga watak koperasi sebagai perusahaan yang dimiliki bersama dapat benar-benar dikendalikan secara demokratis oleh anggotanya,” ujarnya.
Keempat, perluasan lapangan usaha koperasi, dengan menghapus penjenisan koperasi (sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013). Dengan begitu ke depannya koperasi dapat menjalankan usaha di sektor apapun sebagaimana tersedia dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), yang sedikitnya ada 1.790 pilihan.
Kelima, pengarusutamaan koperasi sektor riil, affirmative action ini dilakukan agar koperasi sektor riil dapat menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat.
Keenam, peningkatan perlindungan kepada anggota dan/atau masyarakat dengan mengusulkan pendirian dua pilar lembaga, yaitu Lembaga Pengawas Simpan Pinjam Koperasi dan Lembaga Penjamin Simpanan Anggota Koperasi. Terakhir, peningkatan kepastian hukum, dengan mengatur ketentuan sanksi administratif dan pidana.
“Adanya sanksi pidana ini diharapkan dapat membuat jera orang/pihak-pihak yang memanfaatkan koperasi untuk kepentingan dirinya semata, seperti praktik ternak uang atau rentenir,” pungkasnya.