Bisnis.com, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) diminta untuk mempertahankan tingkat suku bunga di level 6 % saat ini pada November ini dengan mempertimbangkan inflasi dan surplus neraca perdagangan.
Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM FEB UI), Teuku Riefky memprediksikan The Fed tidak akan mengubah suku bunga acuannya, sehingga memberikan ruang bagi BI untuk tidak mengubah suku bunganya.
“Oleh karena itu, BI perlu mempertahankan suku bunga kebijakannya di level saat ini sebesar 6,00% pada pertemuan bulan November. Inflasi yang berada di bawah 3% dan surplus neraca perdagangan juga menjadi alasan bagi BI untuk mempertahankan suku bunga pada level saat ini,” ujarnya melalui keterangan resmi, Rabu (22/11/2023)
Selain itu, imbuhnya, pertumbuhan ekonomi di bawah 5% juga memberikan faktor pendukung lain bagi BI untuk mempertahankan tingkat suku bunga saat ini.
Adapun dia juga melihat kenaikan suku bunga yang tidak terduga oleh Bank Indonesia pada bulan lalu tampaknya berhasil meredakan tekanan baru terhadap rupiah. Meskipun arus modal keluar masih diperkirakan terjadi karena meningkatnya ketidakpastian di pasar global, melambatnya permintaan global, dan sikap ‘higher for longer’ oleh The Fed untuk jangka waktu yang lebih lama, Rupiah kini relatif terkendali dan menunjukkan pola apresiasi selama sebulan terakhir.
Meskipun inflasi AS masih berada jauh di atas target sebesar 2%, The Fed mempertahankan suku bunga tetap pada kisaran 5,25% – 5,50% pada pertemuan bulan November dengan latar belakang pertumbuhan ekonomi dan ketangguhan pasar tenaga kerja yang ditunjukkan oleh lapangan kerja yang stabil dan peningkatan upah.
Baca Juga
Ini merupakan pertemuan FOMC kedua berturut-turut di mana the Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga tetap berada pada kisaran tersebut sejak kenaikan pada bulan Juli 2023.
Hingga saat ini, The Fed telah menaikkan suku bunga hampir belasan kali sejak awal tahun 2022 untuk melawan lonjakan inflasi yang mencapai puncaknya di atas 9% pada bulan Juni 2022. Tingkat inflasi AS menurun menjadi 3,24% (y.o.y) pada bulan Oktober, turun dari 3,70% (y-o-y) pada bulan September 2023.
Rendahnya inflasi tahunan AS pada Oktober 2023 disebabkan oleh penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengimbangi kenaikan biaya perumahan. Setelah The Fed mengumumkan keputusannya pada tanggal 1 November, imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 2 tahun dan 10 tahun masing-masing turun sebesar 12bps menjadi 4,95% dan 11bps menjadi 4,77%.
Sejak pertengahan Oktober, imbal hasil obligasi pemerintah AS 2-tahun dan 10-tahun telah turun drastis, sebagian disebabkan oleh pembelian aset-aset safe-haven yang didorong oleh kekhawatiran akan semakin intensifnya agresi Israel terhadap Palestina.
Didorong oleh sikap The Fed yang hawkish ditambah dengan perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian akibat agresi Israel dan perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung, investor memindahkan asetnya dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang mengakibatkan arus keluar modal dari obligasi dan pasar saham sebesar US$300 juta antara pertengahan Oktober 2023 dan pertengahan November 2023.
Hal ini tercermin dari peningkatan imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia bertenor 1 tahun dari 6,27% pada pertengahan Oktober 2023 menjadi 6,44% pada pertengahan November 2023. Sebaliknya, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun turun dari 6,94% pada pertengahan Oktober 2023 menjadi 6,78% pada pertengahan November 2023, menunjukkan adanya pergeseran preferensi investor terhadap aset jangka panjang.