Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Fikri C. Permana

Ekonom KB Valbury Sekuritas

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Inflasi dan Pentingnya Swasembada Pangan

Kenaikan inflasi yang berlangsung di AS dalam dua tahun terakhir, mendorong The Fed menaikkan 525 basis points (bps) Fed Rate
Petani di sawah
Petani di sawah

Bisnis.com, JAKARTA - Pada 1978, Ronald Reagan dalam proses pencalonan dirinya menjadi presiden pernah menyatakan bahwa “Inflation is as violent as a mugger, as frightening as an armed robber and as deadly as a hit man”.

Kutipan yang masih relevan dan akan terus menjadi hal yang tergiang di telinga para otoritas ekonomi, khususnya otoritas kebijakan moneter, mengingat inflasi dikuatirkan dapat mendorong penurunan daya beli dan seterusnya mendorong melebarnya ketimpangan dalam masyarakat, selain turut disertai dengan kenaikan biaya dana dalam perekonomian.

Melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat (AS), dimana saat inflasi mereka mulai melewati target acuan 2.0% year-on year (YoY) di Maret 2021, dan sempat mencapai 9.1% YoY di Juni 2022, nyatanya walaupun diikuti dengan pertumbuhan ekonomi 5.8% YoY di 2021 dan 1.9% YoY di 2022, dampaknya Rasio Gini total (Income Gini Ratio for Households All Races) malah meningkat dari 0.488 di 2020 menjadi 0.494 di 2021 untuk kembali turun ke 0.488 di 2022. Namun nilai tersebut masih jauh dari kondisi di 1968, saat rasio gini AS berada di angka 0.386.

Selain itu, kenaikan inflasi yang berlangsung di AS dalam dua tahun terakhir, juga telah mendorong The Fed merespon hal tersebut dengan kenaikan 525 basis points (bps) Fed Rate sejak 16 Maret 2022 hingga saat ini. Untuk seterusnya turut berdampak pada biaya dana global, yang dicerminkan oleh peningkatan yield US Treasury 10 Year sekitar 300 bps dan USD Libor 3 Months sekitar 550 bps dalam periode yang sama.

Tetapi, seni menaklukkan inflasi bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan. Lihat saja apa yang terjadi di AS, dimana walaupun risiko inflasi pada 2021 hingga akhir 2022 sudah diketahui berasal dari kenaikan harga energi, tergambar dari harga bensin (regular conventional retail gasoline prices) yang naik sekitar 118% sejak awal 2021 hingga tengah 2022, namun inflasi di 2023 malah mulai berubah arah. Adanya perubahan gaya belanja dan investasi masyarakat, ditopang pasar tenaga kerja yang cukup kondusif, mendorong sumber inflasi bergeser ke kategori Makanan (Food) dan Perumahan (shelter).

KONDISI INDONESIA

Tingkat inflasi Indonesia lebih rendah dibanding AS, walau tren dan sumber inflasi relatif identik. Dalam 5 tahun terakhir, inflasi Indonesia mencapai puncak di September 2022 lalu, yakni di 5.95% YoY. Hal ini didorong kenaikan harga minyak global dan mendorong pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi di 1 September 2022 lalu. Sementara pada 2023, inflasi Indonesia relatif lebih didorong oleh kenaikan harga bahan pangan, yang dikenal dalam kelompok bahan makanan bergejolak (volatile foods).

Kenaikan harga beras, yang bergerak dari rata-rata Rp12,900 per Kg di 1 Maret 2023 lalu, menuju ke atas angka Rp14,600 per Kg sejak 13 Oktober 2023 mungkin menjadi fenomena utama yang terlihat. Disamping itu, harga Cabai Rawit, Cabai Merah, Bawang Merah dan Gula Pasir yang naik secara rata-rata antara 3.4% month-to-month (mtm) hingga 37.5% mtm diantara periode Oktober dan November 2023 ini turut dikuatirkan akan menjadi faktor pelengkap kenaikan inflasi di bulan ini. Walaupun berbagai kebijakan – termasuk moneter, fiskal serta koordinasi kebijakan pusat-daerah – termasuk adanya Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) sudah dilakukan, namun tekanan sisi penawaran akibat kegiatan pertanian yang relatif bergantung pada cuaca masih belum mampu menjawab kekuatiran risiko kenaikan inflasi tersebut.

Memang Bantuan Pangan Beras telah disalurkan pada Maret hingga Juni lalu, begitupun September hingga Desember 2023 ini sebanyak 10 kg per keluarga pada Keluarga Peneriman Manfaat (KPM) di tiap bulannya, namun tampaknya kondisi kenaikan barang-barang pokok tersebut telah menguras daya beli masyarakat. Hal ini khususnya terlihat pada masyarakat dengan tingkat pengeluaran dibawah Rp 3 juta per bulan, yang merupakan kelompok masyarakat yang dianggap lebih rentan akan perubahan harga barang-barang pokok.

Kondisi tersebut dapat dilihat dari dari Indeks Keyakinan Konsumen-Bank Indonesia dari kelompok tersebut, termasuk Indeks Kondisi Ekonomi dan Indeks Ekspektasi Ekonomi yang cenderung turun hingga akhir Oktober jika dibandingkan dengan nilai pada Maret 2023 lalu. Begitupun dengan proporsi pengeluaran rata-rata kelompok tersebut yang dipergunakan untuk konsumsi, yang meningkat dari 75.6% pada Maret 2023 menjadi 76.6% di Oktober 2023 ini. Sementara, kelompok pengeluaran diatas Rp5 juta mengalami penurunan persentase pengggunaan konsumsi dari 69.3% menjadi 68.4% pada periode yang sama.

Disisi lain, pada Agustus 2023, jumlah penduduk bekerja di sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan mencapai 39.35 juta orang atau 28.21% dari total penduduk Bekerja di Indonesia, yang merupakan kelompok terbesar dibanding sektor lainnya. Bahkan dengan penyerapan orang bekerja sebesar 0.75 juta orang dalam satu tahun terakhir. Walaupun begitu, dengan peningkatan rata-rata upah sektor ini sebesar 6.7% ke Rp2.37 juta per bulannya jika dibandingkan Agustus 2022, namun juga memunculkan indikasi bahwa kenaikan harga bahan pokok akhir-akhir ini tidak berdampak signifikan bagi pengeluaran dan kesejahteraan pekerja di sektor tersebut.

Karenanya, tidak heran bila ketiga calon pasangan Presiden-Wakil Presiden yang akan mengikuti kontestasi Pemilihan Umum 2024 menjadikan swasembada pangan menjadi salah satu program prioritas mereka. Tentunya, harapannya berbagai program positif di bidang pertanian yang telah digagas oleh masing-masing calon – baik urban farming, kartu tani dan food estate – berdampak positif bagi berkurangnya risiko sisi penawaran, mengurangi risiko inflasi masa depan, disamping mengurangi risiko impor serta nilai tukar yang terkait. Selain itu, harapannya turut mendorong kesejahteraan masyarakat yang bekerja di sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan untuk selanjutnya dapat menjadi salah satu sektor yang menarik minat pekerja di waktu-waktu mendatang.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper