Bisnis.com, JAKARTA — Tren melambatnya inflasi komponen inti secara tahunan sejak Mei 2025 di tengah inflasi umum yang justru melesat, menjadi sinyal dan bukti bahwa daya beli masyarakat saat ini belum sepenuhnya pulih.
Sekalipun pemerintah klaim bahwa daya beli mulai membaik, tetapi data berkata lain. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi inti pada Juli 2025 sebesar 2,32% year on year (YoY). Angka tersebut lebih rendah dari periode Juni yang sebesar 2,37% maupun Mei yang sebesar 2,40%, bahkan dari April yang mencapai 2,50%.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai pelemahan inflasi inti secara tahunan dalam tiga bulan terakhir menunjukkan indikasi mulai melemahnya tekanan permintaan domestik struktural.
Padahal di awal tahun, inflasi inti sempat tinggi karena dorongan konsumsi pascaLebaran, kenaikan harga jasa, serta ekspektasi pasar terhadap insentif fiskal dan kebijakan upah.
“Namun ketika inflasi inti justru turun di saat yang sama inflasi umum merangkak naik, ini menandakan bahwa tekanan harga yang terjadi bukan bersumber dari penguatan permintaan, tapi dari sisi suplai yang menegang terutama pangan dan energi,” ujarnya, Minggu (3/8/2025).
Menurutnya, kondisi ini mencerminkan terjadinya divergensi daya beli masyarakat bawah tertekan oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, sementara kelompok menengah ke atas justru cenderung menahan konsumsi barang dan jasa non-esensial. Artinya, konsumsi masyarakat berjalan, tapi tidak mengarah pada perbaikan kualitas permintaan.
Baca Juga
Rizal mengkhawatirkan apabila tren ini berlanjut, maka dalam jangka pendek kita justru menghadapi risiko dual pressure alias tekanan ganda. Di mana harga pangan tetap tinggi, tetapi daya dorong konsumsi domestik mulai melemah.
Pasalnya, BPS menunjukkan bahwa inflasi secara umum yang sebesar 2,37%, naik dari 1,87% pada bulan sebelumnya, lebih diakibatkan meningkatnya harga pangan, bukan pulihnya daya beli yang tercermin dalam komponen inti.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menuturkan bahwa secara keseluruhan, tren pelemahan inflasi inti menunjukkan bahwa daya beli masyarakat dan aktivitas ekonomi domestik masih berada di bawah potensinya.
“[Ini] mencerminkan moderasi pada daya beli masyarakat serta pelemahan aktivitas konsumsi rumah tangga secara umum, yang dapat disebabkan oleh perlambatan ekonomi domestik atau sentimen konsumen yang menurun,” jelasnya.
Menurutnya, kondisi ini menciptakan dinamika yang menarik, sementara inflasi umum naik karena faktor jangka pendek yang cenderung bergejolak dan bersifat sementara, inflasi inti justru turun karena melambatnya permintaan yang lebih struktural.
Kebijakan Moneter jadi Kompleks
Baik Rizal maupun Josua sepakat bahwa situasi ini menjadi sinyal kompleks bagi kebijakan moneter. Di satu sisi, inflasi umum yang naik menahan ruang pelonggaran suku bunga. Namun, di sisi lain, inflasi inti yang turun bisa terbaca sebagai tanda bahwa fundamental permintaan belum sepenuhnya pulih.
Maklum, tugas Bank Indonesia selain menjaga stabilitas rupiah, ikut serta dalam menjaga inflasi sesuai dalam sasaran 1,5%—3,5%.
Rizal dari Indef melihat skenario “suku bunga tinggi dalam waktu lebih lama” (higher for longer) berpeluang dipertahankan, sambil menanti kestabilan harga dari sisi pasokan khususnya pangan dan energi sebelum otoritas mengambil langkah akomodatif.
Sementara Josua menyampaikan bahwa situasi ini menandakan ruang pelonggaran kebijakan moneter masih terbuka, terutama jika tekanan harga yang berasal dari komponen volatile dapat dikendalikan secara efektif.
Oleh karena itu, kebijakan makroekonomi harus fokus pada peningkatan konsumsi domestik melalui stimulus fiskal maupun pelonggaran moneter secara selektif.
“Sekaligus memastikan bahwa tekanan harga dari sisi suplai, terutama bahan pangan, tetap terkendali guna menghindari tekanan inflasi umum yang berlebihan,” tuturnya.