Bisnis.com, JAKARTA - Tidak perlu waktu lama, visi misi capres versi pdf segera beredar setelah pasangan capres cawapres resmi mendaftar ke KPU.
Hingga masa pendaftaran ditutup pada 25 Oktober 2023, ada tiga pasangan capres cawapres yang akan berkompetisi pada pilpres 2024 nanti.
Berdasarkan urutan waktu mendaftar ke KPU. Tiga pasangan tersebut adalah Anies-Muhaimin, lalu Ganjar-Mahfud dan ditutup oleh pasangan Prabowo-Gibran.
Momentum lima tahunan ini harus dimanfaatkan semua pihak untuk membangun Indonesia yang lebih baik pada masa yang akan datang, termasuk pada sektor perpajakan. Sistem pajak yang adil dan efektif mendukung pembangunan negara yang berkelanjutan (Sandy Brian Hager & Joseph Baines 2020).
Berdasarkan visi misi, penulis menyigi gagasan atau komitmen para capres cawapres terhadap isu pajak dengan fokus pada tiga hal, yaitu pendapat para capres mengenai urgensi pajak, bagaimana optimaliasi penerimaan pajak yang mereka rencanakan dan evaluasi terhadap lembaga pemungut pajak yang ada sekarang.
Pada aspek pertama, yaitu soal urgensi pajak terhadap pembangunan negara. Tidak ada capres yang menyoroti urgensi pajak bagi pembangunan Indonesia meski penerimaan sektor perpajakan mendominasi penerimaan APBN sebesar 80% dari tahun ke tahun. Meski brand awareness memiliki dampak positif terhadap Wajib Pajak (Aaker, 1991), para capres tidak menyinggung urgensi pajak maupun peran Kementerian Keuangan atau Direktorat Jenderal Pajak sebagai lembaga pemungut pajak.
Baca Juga
Padahal penyampaian urgensi pajak bagi APBN pada visi misi capres diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu pajak. Selanjutnya kesadaran terhadap pajak akan mendorong tingkat kepercayaan terhadap institusi pajak dan mendorong kepatuhan Wajib Pajak.
Pernyataan urgensi pajak ini menjadi penting disampaikan dalam visi misi capres karena berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada tanggal 9—12 Juli 2022, ditemukan fakta bahwa mayoritas publik saat ini masih kurang/tidak paham tentang pajak (52.4%) dan manfaat uang pajak (57.7%).
Aspek kedua, soal bagaimana optimaliasi penerimaan pajak yang ditawarkan para capres, hanya dua pasangan capres cawapres memiliki gagasan. Sedangkan satu pasangan capres cawapres tidak menyinggung optimalisasi penerimaan pajak dalam visi dan misi pencalonan presiden.
Dari dua pasangan yang memiliki gagasan optimaliasi penerimaan pajak tersebut, keduanya punya satu usulan konkret yang sama, yakni melakukan perluasan atau ekstensifikasi basis pajak. Tidak ada gagasan lain untuk meningkatkan penerimaan pajak selain melakukan hal-hal normatif seperti meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta mencegah kebocoran pendapatan negara.
Jika melihat kontribusi sektor perpajakan pada APBN dari tahun ke tahun, visi misi capres cawapres tersebut terasa hambar. Andai penilaian hanya berdasarkan visi dan misi, maka pada tahun-tahun mendatang, agaknya belum ada perubahan yang berdampak besar pada peningkatan penerimaan pajak. Demikian juga dengan tax ratio, akan jalan di tempat saja.
Padahal Data The Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) yang dipublikasikan pada 2022 menunjukkan bahwa tax ratio Indonesia berada di angka 10,1%. Dalam 10 tahun terakhir tax ratio Indonesia selalu berada di kisaran 9% sampai dengan 12%. Tak pernah lebih.
Evaluasi terhadap lembaga pemungut pajak yang ada sekarang adalah hal yang menjadi fokus terakhir dalam menilai komitmen capres cawapres terhadap isu pajak.
Satu pasangan capres cawapres menghendaki status quo. Dikatakan demikian, karena tidak ada gagasan ataupun evaluasi mengenai pembaga pemungut pajak yang sekarang. Saya menduga, pasangan yang menghendaki status quo ini beranggapan bahwa kinerja dan struktur lembaga pemungut pajak yang sekarang sudah baik. Melihat kinerja penerimaan perpajakan yang surplus tahun 2021 dan 2022, tentu hal ini bisa dimaklumi. Apalagi pada 2023 diprediksi akan terulang prestasi serupa.
Sedangkan dua pasangan lain menghendaki adanya badan penerimaan negara yang berada langsung di bawah presiden. Hal ini bisa saja dilakukan dengan memisahkan Direktorat Jendela Pajak dan Direktorat Bea Cukai Meski dari Kementerian Keuangan lalu menjadi Badan Penerimaan Negara.
Hal ini bukanlah gagasan baru. Namun, berkaca pada negara-negara OECD yang tax ratio-nya lebih baik dari Indonesia, pembentukan badan penerimaan negara ini perlu dicoba. Hampir semua negara-negara anggota OECD memisahkan fungsi revenue dan treasury.
Dengan memisahkan fungsi pengumpulan dan pengelolaan dana, negara-negara OECD mengurangi potensi konflik kepentingan satu lembaga. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa keputusan tentang pengeluaran dana dilakukan secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh proses pengumpulan pendapatan. Selain itu, pemisahan fungsi menciptakan sistem keuangan yang lebih tangguh dengan meminimalkan risiko yang terkait dengan konsentrasi kekuasaan dan tanggung jawab dalam satu kementerian.
Pembentukan badan penerimaan negara ini sudah masuk prolegnas tahun 2017 melalui RUU KUP, tetapi sampai dengan 2023, pembahasannya di DPR belum menunjukkan adanya kemajuan.
Sebelum waktu pemilihan tiba, sebagai masyarakat, kita ingin mendengar gagasan para capres cawapres yang akan berkompetisi pada 2024. Tidak saja pada aspek pajak, tetapi juga pada aspek yang lain.
Hanya, kita sangat berharap bahwa apa yang sudah menjadi visi misi atau janji-janji politik para capres cawapres bukan hanya bualan yang akan ditinggalkan jika sudah terpilih. Visi misi capres cawapres ini hendaknya menjadi cetak biru dan panduan mereka jika memimpin kelak. Semoga.