Bisnis.com, JAKARTA - Ombudsman lakukan investigasi terhadap penerbitan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) bawang putih seiring dengan adanya dugaan maladministrasi yang dilakukan Kementerian Pertanian.
Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika membeberkan bahwa pihaknya menemukan adanya sejumlah permasalahan pelayanan penerbitan RIPH bawang putih di Kementerian Pertanian. Adapun RIPH selama ini menjadi salah satu syarat bagi importir untuk mengimpor produk pertanian.
Yeka mengatakan, Ombudsman menemukan adanya pemberian biaya penanaman bawang putih dari importir yang jumlahnya kurang dari kebutuhan petani. Hasil pantauan Ombudsman di Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung ditemukan biaya penanaman bawang putih sebesar Rp70 juta per hektare per musim tanam.
Namun, kata Yeka, sejumlah importir hanya memberikan dana biaya tanam kepada petani pelaksana wajib tanam bawang putih sebesar Rp 15 juta - Rp 20 juta per hektare.
"Hal ini menyebabkan petani harus menanggung sisa biaya tanam," kata Yeka dikutip dalam keterangan resmi, Rabu (8/11/2023).
Selain itu, masalah kedua yang ditemukan Ombudsman yakni adanya calo dalam pengurusan wajib tanam para importir. Ombudsman menemukan seorang calo di Temanggung yang mengelola wajib tanam bawang putih untuk 16 perusahaan importir bawang putih.
Baca Juga
Menurut Yeka, keberadaan calo dalam pelaksanaan wajib tanam bawang putih berisiko munculnya pengurangan proporsi biaya tanam yang diterima petani dari perusahaan. Dampaknya, budidaya bawang putih melalui kebijakan wajib tanam oleh importir tidak berjalan optimal.
Lebih lanjut, Ombudsman juga menemukan fakta bahwa importir penerima RIPH bawang putih tidak melaksanakan kewajiban tanam. Importir yang sudah mendapatkan RIPH dan Surat Persetujuan Impor (SPI) tidak menjalankan wajib tanam.
"Setelah dilakukan analisis, ternyata importir tersebut lebih memilih untuk membuat perusahaan baru untuk memohon impor di tahun berikutnya, daripada melaksanakan kewajiban wajib tanam bawang putih. Karena biaya untuk membuat perusahaan lebih rendah," ungkap Yeka.
Dia menyebut, untuk mendirikan perusahaan baru diperlukan biaya sekitar Rp13 juta, sedangkan biaya wajib tanam bawang putih mencapai Rp70 juta per hektare.
Di sisi lain, Yeka menyebut pihaknya juga menemukan adanya dugaan praktik pungutan liar dalam penerbitan RIPH bawang putih. Adapun berdasarkan keterangan pelapor dan seorang importir mengaku dimintai sejumlah uang oleh oknum dari Kementerian Pertanian sekitar Rp200 - Rp250 per kilogram untuk melancarkan penerbitan RIPH bawang putih.
Padahal, ketentuan Peraturan Menteri Pertanian No. 2/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian No. 39/2019 Tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura, tidak terdapat ketentuan mengenai biaya layanan RIPH.
Adapun masalah terakhir yakni penerbitan RIPH bawang putih yang melebihi rencana impor bawang putih yang ditetapkan dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas). Kementan diketahui telah menerbitkan RIPH bawang putih sebanyak 1,2 juta ton per 17 Oktober 2023. Padahal, kuota impor tahun ini ditetapkan sebanyak 561.926 ton.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa pengendalian impor komoditas bawang putih oleh Menteri Perdagangan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (legally non-binding), sehingga Kementan dapat menerbitkan RIPH bawang putih tanpa melihat instrumen pengendalian impor," ujar Yeka.
Yeka menambahkan, Ombudsman telah membentuk tim pemeriksaan khusus pada Keasistenan Utama III untuk melakukan Investigasi Atas Prakarsa Sendiri (IAPS) terhadap dugaan maladministrasi tersebut.