Bisnis.com, JAKARTA - Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) mulai melakukan penyelidikan tindakan pengamanan perdagangan (safeguard measures) terhadap lonjakan jumlah impor benang filamen artifisial dari China sejak Jumat (27/10/2023).
Plt. Ketua KPPI Nugraheni Prasetya Hastuti menyebut komoditas yang diselidiki mencakup 5 kode HS 8 digit berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) antara lain HS 5403.10.00, HS 5403.31.10, HS 5403.31.90, HS 5403.32.90, dan HS 5403.41.90.
Nugraheni menjelaskan bahwa penyelidikan tersebut dilakukan berdasarkan permohonan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) sebagai perwakilan industri penghasil benang filamen artifisial di dalam negeri. Adapun permohonan dari API diterima oleh KPPI pada 18 September 2023.
Adapun berdasarkan dari bukti awal permohonan resmi yang diajukan API, kata Nugraheni, KPPI menemukan adanya lonjakan jumlah impor baran benang filamen artifisial.
"KPPI juga menemukan indikasi awal mengenai kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang dialami industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah impor barang benang filamen artifisial," ujar Nugraheni dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (28/10/2023).
Indikasi kerugian dan risiko kerugian serius itu dapat dilihat dari beberapa indikator dalam kinerja industri domestik selama 2020-2022. Nugraheni menyebut sepanjang periode tersebut terjadi penurunan keuntungan pelaku usaha di sektor tersebut secara terus-menerus akibat penurunan volume produksi, penjualan domestik, produktivitas, kapasitas terpakai dan tenaga kerja, serta penurunan pangsa pasar API di pasar domestik.
Baca Juga
Aliran deras impor pun tercatat pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam tiga tahun selama periode 2020-2022 menunjukkan peningkatan jumlah impor barang benang filamen artifisial hingga 49,89%. Pada 2020, jumlah impornya sebesar 1.191 ton. Pada 2021, impornya naik 51,48% menjadi 1.804 ton. Kemudian, pada 2022 impor naik 48,32% menjadi 2.676 ton.
Sebagian besar impor benang filamen artifisial tersebut berasal dari China mencapai 98,29%, dan sebesar 1,71% berasal dari negara lainnya.
"KPPI mengundang semua pihak yang berkepentingan untuk mendaftar sebagai Pihak yang Berkepentingan selambat- lambatnya 15 hari sejak tanggal pengumuman ini," katanya.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, Kamis (19/10/2023), Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menemukan adanya perbedaan data impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dari China yang dicatat BPS dengan data ekspor China ke Indonesia yang tercatat di International Trade Center (ITC).
APSyFI mencatat data ekspor TPT dengan kode HS 50-60 China ke Indonesia mencapai US$6,5 miliar pada 2022. Sedangkan BPS mencatat impor TPT dari China pada 2022 hanya US$3,55 miliar. Dengan begitu, ada selisih nilai US$2,94 miliar atau setara Rp43 triliun yang tidak tercatat oleh BPS dan diduga sebagai impor ilegal.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani mengatakan perbedaan data tersebut memang mungkin terjadi. Namun, data ekspor China tidak bisa serta-merta disandingkan dengan data impor di Indonesia.
Musababnya, dia membeberkan sejumlah faktor dapat memicu perbedaan data impor di Indonesia dengan data ekspor di negara asal. Seperti perbedaan kategori barang dalam HS, metodologi perhitungan hingga perbedaan harga barang. Menurutnya, selisih data itu tidak bisa langsung disebut sebagai ilegal, perlu dikaji lebih lanjut bersama berbagai pihak terkait.
"Itu perlu dikaji sebab banyak hal yang menyebabkan perbedaannya, jadi enggak bisa apple to apple," ujar Askolani saat ditemui di Gudang Penimbunan Pabean Bea Cukai Cikarang, Kamis (26/10/2023).