Bisnis.com, LOMBOK – Pemerintah terus mempersiapkan diri untuk menerapkan kebijakan internasional demi perpajakan yang adil, melalui skema Dua Pilar Pajak Global.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan saat ini Indonesia terus menyiapkan aturan untuk menerapkan Pilar II pajak global. Di satu sisi Indonesia telah siap dengan Pilar I, melalui Undang-undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Intinya, Pilar II akan diimplementasikan 2025, tetapi aturan pelaksana sedang dibuat, harus diratifikasi oleh presiden, itu prosesnya lama,” ujarnya, dikutip Jumat (27/10/2023).
Dwi mengaku pihaknya pun ingin segera mengimplementasikan kebijakan yang bersifat internasional tersebut, untuk menambah pundi-pundi kas negara.
“Kami juga ingin secepatnya karena kami ingin mendapat bagian juga sebagai market jurisdiksi,” tambahnya.
Pasalnya, jelas Dwi, kebijakan yang akan berlaku di 138 negara tersebut tercetus atas keresahan negara pasar atau market jurisdiksi dengan ketentuan tidak ada pajak yang harus dibayar jika perusahaan tidak membangun cabangnya di negara pasar.
Baca Juga
Alhasil, muncul konsensus global yang menginginkan bahwa perusahaan seperti itu harus membayar pajak dan memberikan hak pemajakan kepada negara pasar, termasuk Indonesia.
Adapun, Konvensi Multilateral atau Multilateral Convention (MLC) teranyar yang telah terbit menandakan implementasi Pilar I pajak global mulai memasuki tahap untuk proses ratifikasi oleh 138 negara.
Melalui Pilar I, Indonesia berpotensi meraih tambahan penerimaan pajak atas penghasilan korporasi global. Peluang itu muncul setelah The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merampungkan MLC Pilar 1 soal pendistribusian pajak perusahaan multinasional kepada negara pasar.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) OECD Mathias Cormann, mengatakan naskah MLC yang telah dipublikasikan pada pertangahan Oktober ini, menjadi landasan pemerintah untuk melaksanakan reformasi sistem perpajakan internasional secara terkoordinasi.
"Negara-negara kini mempunyai sarana untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna ratifikasi, dan kami meningkatkan dukungan kami untuk negara-negara berkembang," katanya.
Untuk itu, skema ini perlu dimanfaatkan dengan mendorong perusahaan multinasional berinvestasi dan membangun kantornya di Indonesia.
Akan menjadi satu masalah, jika beberapa syarat yang wajib dipenuhi sebelum perusahaan multinasional itu menyerahkan pajak kepada negara pasar tidak dipenuhi, di mana akan menggeruh basis pajak domestik.
Apalagi, tarif PPh Badan tidak memainkan peran dalam Pilar 1. Fungsinya digantikan oleh adanya kebijakan threshold pada tiap komponen.
Perusahaan yang wajib membayar pajak harus beromzet di atas 20 miliar euro setahun secara global dan profitabilitas di atas 10%.
Ketentuan lain yang wajib dipahami adalah adanya dasar nexus atau tanggung jawab pajak perusahaan atas suatu negara, yakni penghasilan di atas 1 juta euro setahun di negara pasar, dan residual profit 25% yang harus dibagi perusahaan ke negara pasar.
Indonesia Masih Menghadapi Tantangan
Managing Partner and Head of Tax RSM Indonesia Ichwan Sukardi menyampaikan bahwa saat ini Indonesia masih melakukan pengkajian terhadap dampak dari pilar dua perpajakan ini terhadap skema insentif dan penerimaan perpajakan.
Menurutnya, Indonesia menghadapi tantangan dari sisi kebijakan pajak minimum domestik atau qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT).
“Kami menghadapi tantangan legal khususnya QDMTT, menurut aturan konstitusi, harus disetujui oleh parlemen, harus mengajukan ke parlemen, saya rasa ini benar-benar challenging bagi pemerintah,” tuturnya beberapa waktu lalu.
Bukan hanya Pilar 1 yang berpotensi menggerus penerimaan negara, dalam Pilar 2 berisiko menghilangkan hak pemajakan negara berkembang yang masih memberikan insentif kepada wajib pajak badan.
Sebagaimana diketahui, Indonesia masih menebar insentif perpajakan setiap tahunnya.
Untuk itu, sederet negara peserta konsensus menyusun QDMTT untuk melindungi basis pajak dari dampak penerapan pajak minimum global, terutama apabila Indonesia masih mempertahankan kebijakan tebar insentif. Namun nyatanya, QDMT tak memberikan dampak yang bagus.
“Potensi penerimaan pajak dari penerapan IIR, UTPR, STTR, dan QDMTT mungkin tidak signifikan di Indonesia,” tutur Ichwan.