Bisnis.com, JAKARTA - Janji pemerintah untuk memperketat pengawasan impor melalui larangan dan pembatasan (lartas) border dinilai belum cukup efektif menghentikan barang-barang impor yang masuk secara ilegal.
Di satu sisi, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, perubahan aturan pengawasan impor dari post border menjadi border memang efektif memperketat masuknya barang impor.
"Namun, perdagangan impor ilegal itu memang masih sangat rentan terjadi karena pasar kita yang besar, lokasi atau letak geografis kita yang begitu luas dan berkepulauan," kata Faisal kepada Bisnis, dikutip Kamis (26/10/2023).
Pengawasan lartas border, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh petugas Bea Cukai di kawasan pabean, sedangkan pengawasan post border dilakukan setelah keluar kawasan pabean dan telah berbedar di masyarakat yang diawasi oleh kementerian/lembaga terkait.
Selama ini, pengawasan post border telah membuka banyak celah barang impor ilegal yang masuk tanpa pengawasan dan pengamanan yang tegas. Hal ini yang mengancam produk dalam negeri dan produktivitas industri nasional.
"Oleh karena itu, dari pengawasan terhadap produk-produk impor itu menjadi sangat penting terutama di border karena kalau di post border itu sudah lebih susah lagi," ujarnya.
Baca Juga
Salah satu bukti adanya barang impor ilegal yang masuk ke RI ditandai oleh laporan dari sejumlah pelaku usaha, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan industri alas kaki. Hal ini tercerminkan dari perbedaan data impor sejumlah produk dari China yang dirilis antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan data menurut International Trade Center (ITC).
Data impor alas kaki Indonesia dari China menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat senilai US$484,3 juta pada 2022. Sementara itu, data ITC menunjukkan ekspor alas kaki China ke RI senilai lebih dari US$1,2 miliar.
Hal yang sama pun terjadi pada tahun 2021, di mana data BPS impor alas kaki (HS 64) ke China sebesar US$369,6 juta. Sementara itu, ekspor China ke RI menurut ITC senilai hampir US$800 juta.
Di sisi lain, data dari ITC ekspor TPT (HS 50-63) China ke Indonesia senilai US$6,5 miliar pada tahun lalu, sedangkan BPS mencatat impor TPT dari China US$3,55 miliar pada periode sama. Terdapat gap senilai US$2,94 miliar atau setara dengan Rp43 triliun yang tidak masuk dalam catatan resmi BPS.
"Perbedaan pencatatan ini sering terjadi, bukan hanya dari produk-produk yang masuk ke Indonesia, termasuk juga yang kita ekspor seperti nikel ore, bahan bakar atau bijih nikel yang semestinya tidak boleh diekspor sejak 2020," ungkapnya.
Namun, kenyataannya pada pencatatan impor dari China untuk barang-barang dari Indonesia tersebut masih ada. Faisal menuturkan bahwa kondisi ini merupakan sesuatu yang ilegal atau underwritting dalam hal pencatatannya.
"Ini yang semestinya ditingkatkan pengawasannya untuk mencegah kebocoran penerimaan negara dan mencegah masuknya barang-barang yang merugikan produsen barang-barang serupa untuk pasar domestik," jelasnya.
Ekonom Senior CORE Indonesia Ina Primiana mengatakan, perbedaan data tersebut semestinya segera ditelusuri dan tidak dibiarkan begitu saja oleh lembaga terkait, yakni Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Praktik perdagangan luar negeri secara ilegal ini tak hanya merugikan para pelaku usaha industri lokal, tetapi juga merugikan negara karena absennya bea masuk yang semestinya dibayarkan.
Di sisi lain, Ina menyinggung terkait dengan rencana pemerintah untuk mengubah pengawasan impor dari post border menjadi border. Menurutnya, hal tersebut belum efektif mencegah impor ilegal.
"Pemberlakuan apapun untuk mencegah impor ilegal tidak bisa berjalan baik kalau punishment tidak ditegakkan," ujarnya.
Dia menuturkan, pencegahan impor ilegal perlu dilakukan dengan sistem terintegrasi dengan pengawasan berlapis. Selain itu, penegakkan hukum perlu di berlakukan yang setimpal dengan permainan para oknum.