Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Permendag 8/2024 Dicabut, Produsen Hulu Tekstil Singgung Efektivitas

APSyFI menyoroti masih banyak tata kelola impor tekstil yang perlu dibenahi selain pencabutan Permendag No.8/2024
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) memandang pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, khususnya untuk tekstil dan produk tekstil (TPT), tak langsung menjamin efektif berdampak positif erhadap kinerja industri.

Ketua Umum APSyFI Redma G. Wirawasta mengatakan pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah yang melakukan perbaikan aturan tata kelola impor. Kendati demikian, detail pengaturannya harus dilihat seksama. 

“Untuk TPT secara aturan memang itu yang diminta oleh kalangan industri, kalau yang untuk tekstil kan tetap sama memerlukan pertek [pertimbangan teknis] dari Kemenperin,” kata Redma kepada Bisnis, Senin (30/6/2025). 

Perubahan yang menjadi angin segar yakni penerapan kembali syarat pertimbangan teknis (pertek) dari Kementerian Perindustrian yang pada aturan Permendag No. 8/2024 sebelumnya dihapus sehingga impor hanya menggunakan persetujuan impor (PI) dan laporan surveyor (LS).

Redma menegaskan, penerapan pertek sebagai salah satu rekomendasi kuota impor produk industri sangat penting untuk memastikan kondisi pasokan dan kebutuhan dalam negeri. 

“Betul, pertek ini harus memperhatikan pasokan dalam negeri jangan justru memotong pasokan dalam negeri,” ujarnya. 

Di samping itu, Redma menyoroti transparansi dan kepastian produsen mendapatkan persetujuan impor (PI) di tengah upaya pemerintah menekan rencana tarif resiprokal dari Amerika Serikat (AS). 

Menurut dia, meski pemerintah memberikan keleluasaan dalam tata kelola impor, terdapat masalah terkait penerbitan pertek yang harus segera diperbaiki, yakni berkenaan dengan keadilan pemberian kuota impor. 

Selama ini, Redma melihat kurangnya pengawasan terhadap implementasi penerbitan pertek yang merekomendasi jumlah kuota impor. 

“Kita bisa lihat setiap tahun impor benang dan kain terus naik padahal ada pertek, tapi disisi lain utilisasi industri terus turun, artinya pemberian kuota impor ini cenderung berlebih hingga menekan produk dalam negeri,” terangnya. 

Dia pun memaparkan data volume impor benang dan kain yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2008, volume impor benang pintal dan filamen mencapai 130.000 ton, sementara pada 2024 volumenya melonjak 259% menjadi 467.000 ton.

Tak hanya itu, volume kain tenun, rajut dan nirtenun juga mengalami kondisi serupa. Pada 2008, volume impor produk ini mencapai 294.000 ton, sedangkan tahun lalu mencapai 873.000 ton atau naik 196%.

“Maka setelah terbit peraturan baru ini, sekali lagi kami akan meminta Kemenperin untuk mengevaluasi pemberian pertek, khususnya untuk benang dan kain,” terangnya. 

Menurut Redma, upaya substitusi impor untuk mengurangi ketergantungan produk impor di Indonesia sepenuhnya bergantung pada Kemenperin. 

“Selama mereka masih menerbitkan kuota impornya berlebih, maka substitusi impor yang digembar-gemborkan hanya jadi khayalan saja,” imbuhnya. 

Pasalnya, dia melihat barang-barang impor yang selama ini diberikan kuota impornya oleh Kemenperin melalui pertek, justru dijual dengan harga murah, bahkan predatory pricing di pasar dan memakan pangsa pasar produk lokal.

“Kita ambil dari 2015 saja, di mana hampir semua benang dan kain dimasukan ke dalam lartas [larangan dan pembatasan] Permendag-Permendag sebelumnya. Jadi, meski ada pertek impornya terus naik, artinya kuota impor yang diberikan Kemenperin setiap tahunnya terus naik. Ini sangat jauh dari semangat substitusi impor,” pungkasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper