Bisnis.com, JAKARTA- Perbedaan data ekspor dan impor yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan International Trade Centre (ITC) telah memicu dugaan praktik impor ilegal dari China yang menerpa industri dalam negeri.
Adapun, dugaan besaran impor ilegal tersebut diungkapkan oleh pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan industri alas kaki yang saat ini kinerjanya merosot akibat banjir produk asing di pasar domestik.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mencatat data dari ITC ekspor TPT (HS 50-63) China ke Indonesia senilai US$6,5 miliar pada tahun lalu. Sedangkan, BPS mencatat impor TPT dari China US$3,55 miliar pada periode sama. Terdapat gap senilai US$2,94 miliar atau setara dengan Rp43 triliun yang tidak masuk dalam catatan resmi BPS.
Tak hanya itu, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) juga membongkar perbedaan data impor alas kaki (HS 64) BPS dari China yang tercatat senilai US$484,3 juta pada tahun 2022. Sedangkan, data ITC menunjukkan ekspor alas kaki China ke RI senilai US$1,2 miliar.
Para pelaku industri lokal ini menduga bahwa selisih dari perbedaan tersebut merupakan aktivitas impor dari China yang tidak tercatat di BPS alias ilegal. Hal ini pun mengundang keresahan akan minimnya tindakan tegas untuk menghalau laju impor ilegal ke dalam negeri.
Menanggapi perbedaan data BPS dan ITC, Direktur Statistik Distribusi BPS Elfiza mengatakan pihaknya hanya mencatat data yang masuk dari bea cukai, di mana data tersebut diisi oleh eksportir maupun importir secara langsung.
Baca Juga
"BPS hanya mencatat ekspor dan impor legal yang bersumber dari sistem kompilasi data bea cukai sistem kompilasi data bea cukai itu diisi langsung oleh eksportir dan importir," kata Efliza kepada Bisnis, Kamis (19/10/2023).
Perbedaan data tersebut terjadi tidak hanya pada 2022 saja. Sebelumnya, Aprisindo juga mencatat selisih yang cukup tinggi pada 2020 dan 2021.
Pada 2021, impor Indonesia dari China menurut BPS senilai US$396 juta, sedangkan data ITC menunjukkan ekspor China ke RI sebesar US$785 juta. Terdapat gap senilai US$389 juta yang tidak tercatat resmi di BPS.
Direktur Eksekutif Aprisindo, Firman Bakri mengatakan sudah semestinya pemerintah melihat kejanggalan dari perbedaan data tersebut dan mengidentifikasi celah dari masuknya impor ilegal.
"Karena selisih data impor sangat tinggi, dan sudah berlangsung cukup lama maka perlu ada perhatian serius dengan membentuk Komite Pemberantasan Impor Ilegal dan menjadikan permasalahan Kepabeanan sebagai Extraordinary Crime," terangnya.