Bisnis.com, SINGAPURA — Dana Moneter Internasional (IMF) menilai perekonomian di kawasan Asia dan Pasifik masih akan konsisten berkontribusi sekitar dua pertiga dari pertumbuhan global tahun ini, meskipun dihadapkan pada situasi yang penuh tantangan.
Dalam laporan bertajuk Regional Economic Outlook: Asia and Pacific, IMF mengungkapkan bahwa perubahan permintaan global dari barang ke jasa dan kebijakan moneter yang ketat secara bersamaan menjadi tantangan utama kawasan ini.
Pertumbuhan ekonomi kawasan ini yang positif pada paruh pertama tahun 2023 cukup mengejutkan, didorong oleh permintaan domestik yang kuat, sebagian akibat peningkatan belanja dan penurunan tabungan masyarakat, serta pembukaan kembali ekonomi China setelah pandemi.
Meski begitu, momentum pertumbuhan mulai melambat seiring dengan semakin melemahnya efek pembukaan ekonomi China dan kurang bertenaganya aktivitas investasi, terutama akibat permintaan global yang melemah.
Inflasi inti telah mengalami penurunan dari puncaknya setelah pandemi seiring dengan penurunan harga komoditas global.
IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini untuk tahun 2023 adalah sebesar 4,6 persen, meningkat dari 3,9 persen pada tahun 2022, dan sesuai dengan perkiraan yang dikeluarkan dalam Outlook Ekonomi Regional Mei 2023.
Baca Juga
Perekonomian di kawasan ini dinilai relatif tetap kuat dibandingkan dengan pertumbuhan global yang diperkirakan hanya sebesar 3 persen tahun ini. Namun, tingkat pertumbuhan Asia Pasifik ini diperkirakan akan melambat menjadi 4,2 persen pada tahun 2024.
Perlambatan di sektor properti China berpotensi memberikan dampak negatif pada permintaan di seluruh kawasan.
“Meskipun pertumbuhan di Amerika Serikat dan Jepang meningkat, dampaknya kemungkinan akan lebih kecil dalam mengimbangi penurunan dari China, seiring pergeseran permintaan global dari barang ke jasa dan dari sumber asing ke produsen domestik. Keduanya memberikan dampak yang minim pada kawasan Asia Pasifik,” ungkap IMF dalam laporan yang terbit Rabu (18/10/2023).
IMF memperkirakan pertumbuhan jangka menengah akan semakin melambat menjadi 3,9 persen, akibat perlambatan struktural China dan pertumbuhan produktivitas yang lebih rendah di banyak ekonomi lain di kawasan ini, yang sebagian mencerminkan dampak global pengurangan risiko.
Inflasi diperkirakan akan kembali ke dalam kisaran target bank sentral di sebagian besar negara pada tahun 2024, menunjukkan tingkat disinflasi yang lebih cepat dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Secara jangka pendek, baik secara global maupun di kawasan Asia Pasifik, masih terdapat potensi penurunan, meskipun saat ini lebih seimbang daripada enam bulan yang lalu.
IMF menilai kondisi pemulihan ekonomi China yang lebih lambat dari yang diharapkan dapat memicu dampak negatif pada mitra dagangnya. Pengetatan finansial tiba-tiba di Amerika Serikat atau di dalam kawasan dapat menghambat pertumbuhan, terutama di negara-negara yang memiliki tingkat utang yang tinggi.
Di sisi lain, prospek pertumbuhan yang lebih positif, seperti perbaikan dalam sektor manufaktur dan belanja modal, serta perubahan lebih cepat dalam siklus teknologi dan disinflasi di Asia, menjadi lebih mungkin dan dapat memberikan ruang untuk kebijakan moneter yang lebih longgar pada tahun 2024.
Untuk jangka menengah, prospek ekonomi kawasan ini dipengaruhi oleh risiko fragmentasi geoekonomi, dengan kebijakan pengurangan risiko yang diterapkan oleh ekonomi utama yang berpotensi menjadi hambatan signifikan bagi pertumbuhan.
Di sisi lain, rangkaian reformasi komprehensif di China dapat meningkatkan prospek pertumbuhan jangka menengah, terutama bagi ekonomi yang lebih kecil dan terbuka.
Beberapa negara berkembang dan ekonomi dalam tahap pengembangan yang lain menghadapi risiko utang yang semakin meningkat dan risiko pembiayaan ulang. Selain itu, masalah suhu dan biaya bencana alam meningkat, terutama bagi beberapa negara yang paling rentan di kawasan Asia.
IMF berharap bank sentral dapat melanjutkan kebijakan yang memastikan inflasi berada dalam target yang tepat.
“Kondisi moneter yang ketat dapat memberikan tekanan pada stabilitas keuangan, sehingga penting untuk memperkuat pengawasan keuangan, mengawasi risiko sistemik, dan memodernisasi kerangka kerja penyelesaian,” ungkap IMF.
Kerangka kebijakan fiskal jangka menengah yang kredibel dan konsolidasi dapat menjaga ruang fiskal dan keberlanjutan utang.
IMF juga menilai kerugian output jangka menengah relatif terhadap tren sebelum pandemi cukup signifikan dan ketidaksetaraan masih tinggi, sehingga memerlukan strategi pertumbuhan regional yang komprehensif.
Penguatan kerja sama multilateral dan upaya untuk mengurangi dampak fragmentasi sangat penting untuk outlook jangka menengah Asia.
Sementara itu, risiko yang diakibatkan oleh kebijakan pengurangan risiko di seluruh Asia semakin mendesak perlunya kebijakan struktural untuk meningkatkan pertumbuhan produktivitas, memfasilitasi peralihan ke arah ekonomi berkelanjutan, serta memastikan pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan.