Bisnis.com, JAKARTA - Harga gula untuk konsumsi rumah tangga berisiko mengalami lonjakan pada akhir tahun ini seiring musim giling tebu yang segera berakhir. Terlebih, produksi gula dalam negeri juga mengalami penurunan akibat fenomena El Nino.
Untuk mengantisipasi risiko lonjakan harga gula ini, Holding BUMN Pangan ID Food bakal merealisasikan sisa kuota impor gula sebanyak 125.675 ton dari Brasil.
Direktur Utama ID Food Frans Marganda Tambunan mengatakan, pemenuhan stok gula dari importasi perlu segera dilakukan untuk keperluan stabilisasi harga. Apalagi, kata Frans, HBKN (hari besar keagamaan nasional) dan lebaran tahun depan bakal berlangsung lebih awal, yakni di pertengahan April 2024.
Dia menyebut, pelaksanaan impor gula hanya tinggal menunggu izin impor gula dikeluarkan oleh pemerintah. Rencana impor 125.675 ton gula ton dari Brasil itu merupakan sisa dari kuota penugasan impor gula tahun ini sebanyak 250.000 ton raw sugar atau setara 230.000 ton gula kristal putih.
Pada awal tahun kuota impor tersebut telah direalisasikan sebanyak sekitar 97.000 ton. Adapun, dari realisasi impor gula pada awal tahun sebanyak 90 persennya berasal dari India dan 10 persen dari Thailand.
"Jadi kita juga mendorong keputusan stabilisasi [izin impor] kita dapatkan secepatnya dan kebetulan juga musim giling gula sebentar lagi berakhir," kata Frans di Kementerian BUMN, Selasa (10/10/2023).
Baca Juga
ID Food membutuhkan Rp1,5 triliun untuk merealisasikan impor gula sebanyak 125.675 ton tersebut. Sumber anggaran sebagian berasal dari dana cadangan pangan pemerintah dan sebagian lainnya berasal dari pinjaman komersial dari bank.
Di sisi lain, Frans membeberkan bahwa importasi gula saat ini menuai tantangan. Salah satunya dipicu adanya aksi restriksi ekspor yang dilakukan sejumlah negara eksportir gula dunia.
Sebagaimana diketahui, India telah resmi menutup keran ekspor gulanya hingga pertengahan tahun depan. Apalagi Thailand, kata Frans, volume ekspor gula yang tersedia dari negara Gajah Putih itu dinilai terlalu minim.
"Tidak seperti dulu ketika kita ingin impor itu kan negara pemasoknya tersedia," tutur Frans.
Penurunan Produksi
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengatakan, adanya penurunan produktivitas tebu di kalangan petani sekitar 10-20 persen. Menurutnya, penurunan produktivitas tersebut disebabkan oleh fenomena El Nino hingga kapasitas petani yang minim untuk budidaya secara optimal.
"Saya khawatir turunnya [produktivitas] bisa lebih besar dari itu," ujar Soemitro saat dihubungi, Rabu (11/10/2023).
Dia membeberkan bahwa petani dalam beberapa waktu terakhir mendapatkan harga jual yang lebih tinggi dari harga acuan pembelian (HAP) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp12.500 per kilogram.
"Baru lelang terakhir ini ada di atas HPP yaitu Rp13.500 [per kilogram], mulai akhir September dan awal Oktober kemarin," bebernya.
Meskipun harga jual naik di atas HAP, menurutnya saat ini mulai ada penurunan sekitar Rp100-Rp200 per kilogram. Soemitro pun menegaskan bahwa HAP gula di tingkat produsen atau petani yang ditetapkan pemerintah dalam Perbadan No.17/2023 sebesar Rp12.500 per kilogram masih di bawah biaya produksi petani.
Dia menyebut, biaya produksi gula di petani saat ini mencapai Rp13.500 per kilogram. "Karena kita mau bercocok tanam tebu harus untung kan," tuturnya.
Menurutnya, kenaikan harga gula saat ini masih dalam tahap wajar. Dia pun membandingkan dengan lonjakan harga beras yang terjadi saat ini dengan harga gula.
"Naik itu wajarlah, karena harga beras juga naik. Kalau harga gula naik petani tebu kan juga ngiri sama petani padi," ucapnya.
Sementara itu, Tenaga ahli Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Yadi Yusriadi mengatakan, produksi gula di tahun ini sebanyak 2,25 juta ton ternyata mengalami penurunan sekitar 6 persen dari tahun lalu.