Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengenang Kejayaan Tekstil yang Hilang, PHK Massal Berlanjut

Terbaru, PHK massal sektor tekstil dilakukan enam perusahaan dengan jumlah sekitar 5.000 pekerja.
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman
Sejumlah karyawan tengah memproduksi pakaian jadi di salah satu pabrik produsen dan eksportir garmen di Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/1/2022). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA- Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK massal masih membelit sektor industri tekstil. Lapangan padat karya yang pernah berjaya di pasar ekspor itupun perlahan rontok.

Industri tekstil merupakan sektor ekonomi padat karya. Selain pasar domestik, industri tekstil telah lama diandalkan sebagai penopang ekspor nonmigas.

Rantai industri tekstil mengular panjang. Sebagaimana dikutip dari buku “Analisis Pembangunan Industri 2021" terbitan Kemenperin, industri tekstil saat ini meliputi produksi serat benang, benang, kain, pakaian jadi, hingga keperluan rumah tangga.

Indonesia pernah jadi raja tekstil di kawasan. Sebagai bekas jajahan Belanda, industri tekstil telah diperkenalkan Pemerintahan Kolonial sirka 1922, atau telah berusia lebih dari seabad hingga sekarang.

Monumen hidup kejayaan tekstil pun masih bisa disaksikan hingga kini. Dalam proses awal industrialisasi tekstil, Pemerintah Belanda membentuk Textiel Inrichting Bandoeng (TIB), yang kini beralih sebagai Poltek STT Tekstil Bandung.

Lebih jauh, lewat TIB inilah kali pertama diperkenalkan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) kepada para pelaku industri di Majalaya, Jawa Barat. Menyusul kemudian pemanfaatan Alat Tenun Mesin (ATM). Nama Majalaya pun terkenal tidak saja di dalam negeri, tetapi hingga ke pasar ekspor.

Berawal dari upaya pemenuhan domestik, produk tekstil mendapatkan momentum pada dekade 1980-an setelah berbagai investasi asing masuk. Para investor asing itu banyak yang menggarap hulu tekstil, hingga menggandeng para pemain lokal.

Krisis ekonomi 1998 ikut berimbas besar terhadap sektor industri tekstil. Walau tertatih, berbagai upaya baik dari pemerintah seperti program restrukturisasi mesin hingga upaya menggenjot investasi bisa mempertahankan kinerja industri.

Persoalannya kini, industri tekstil pun masih diandalkan menopang ekspor hingga jadi gantungan hidup para pekerja. Hantaman pandemi serta efek pelemahan setelahnya jadi batu ujian selanjutnya.

Teranyar, berdasarkan informasi Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara atau KSPN, terdapat enam perusahaan anggota dari sektor tekstil yang terpaksa melakukan PHK. “Data terbaru Agustus-September 2023, ada tambahan PHK 5.000 pekerja dari enam perusahaan,” ungkap Presiden KSPN Ristadi kepada Bisnis, pada Kamis kemarin (5/10/2023).

Tren PHK massal industri tekstil ini merupakan lanjutan sejak akhir tahun lalu. Belasan ribu pekerja sektor tekstil di wilayah Jabodetabek telah didera PHK sejak akhir tahun lalu.

Ristadi mengungkapkan PHK dilakukan berbagai perusahaan itu merupakan imbas kosongnya permintaan. “Angka PHK jauh lebih besar, karena banyak perusahaan tidak melaporkan kepada pemerintah,” tambahnya.

KSPN menilai rontoknya perusahaan tekstil itu akibat banjir impor baik legal maupun ilegal. “Produk mereka masuk pasar tradisional hingga jualan online,” tambah Ristadi.

Senada, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengungkapkan banjir impor itu juga didukung aktivitas kawasan berikat. Menurutnya, mengacu PMK No. 131/2018 tentang Kawasan Berikat, produk impor yang sejatinya ditujukan untuk ekspor tersebut bisa disalurkan ke pasar domestik, meski dengan porsi tertentu.

Hal ini disebutkan dalam Pasal 31 pada PMK tersebut bahwa pengeluaran hasil produksi ke tempat lain dalam daerah pabean dilakukan dalam jumlah paling banyak 50 persen dari penjumlahan nilai realisasi ekspor dan penjualan ke berbagai kawasan.

"Yang membuat masalah besar adalah akibat negara tujuan ekspor melemah negara produsen TPT seperti China juga mencoba mencari market baru, Indonesia menjadi sasarannya," kata Jemmy, Rabu (4/10/2023).

Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memandang lesunya kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tak semata-mata disebabkan oleh serbuan produk impor yang membanjiri pasar domestik. 

Menurut Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani, terdapat isu lain yang menjadi faktor utama pemicu runtuhnya industri TPT, di antaranya upah minimum yang dinilai tidak terjangkau, daya saing yang lemah, hingga target pasar yang belum dioptimalkan. 

"Saya rasa kita harus cukup rasional dan dewasa untuk melihat bahwa isu di sektor TPT tidak semata-mata karena impor tapi juga karena disumbang oleh isu lain," kata Shinta kepada Bisnis, Rabu (4/10/2023). 

Dalam hal upah minimum, nilai upah di Indonesia masih disebut tidak terjangkau jika dibandingkan dengan negara pesaing, seperti Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh.

Terakhir, industri tekstil menyimpan banyak persoalan. Meski begitu, pemerintah wajib putar otak, demi menyelamatkan lapangan kerja hingga mengulang kejayaan ekspor nonmigas ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper